penghasilan Archives - RDN Consulting


No more posts

September 4, 2020
3433-1280x589.jpg

Biaya-biaya pengurang penghasilan bruto dapat menentukan besaran penghasilan neto yang selanjutnya digunakan untuk menghitung besaran pajak penghasilan (PPh) terutang. Apa saja yang termasuk ke dalam biaya-biaya yang mengurangi penghasilan bruto ini?

Mengenal Biaya-Biaya Pengurang Penghasilan Bruto

Biaya pengurang penghasilan bruto juga disebut sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 pasal 6, biaya pengurang ini terbagi menjadi beberapa jenis.

  • Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain:
  1. Biaya pembelian bahan
  2. Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang.
  3. Bunga, sewa, dan royalti
  4. Biaya perjalanan
  5. Biaya pengolahan limbah
  6. Premi asuransi
  7. Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
  8. Biaya administrasi
  9. Pajak kecuali Pajak Penghasilan
  • Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A.
  • Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan
  • Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
  • Kerugian selisih kurs mata uang asing.
  • Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.
  • Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan.
  • Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat tertentu.
  • Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
  • Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
  • Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
  • Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
  • Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Biaya Pengurang Penghasilan Bruto Melalui Penyusutan dan Amortisasi

Biaya-biaya pengurang penghasilan bruto dapat dibagi ke dalam dua golongan. Pertama, adalah biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari satu tahun yang merupakan biaya pada tahun pajak bersangkutan, misalnya gaji, biaya administrasi, biaya rutin pengolahan limbah, dan sebagainya.

Kedua adalah biaya yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun. Maka, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi.

Mengacu pada Pasal 11 dan Pasal 11A Undang-Undang PPh, penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harga berwujud. Sedangkan amortisasi dilakukan atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan biaya lainnya.

Pengeluaran yang memiliki peran terhadap penghasilan usaha untuk beberapa tahun, dapat dibebankan secara alokasi atau sesuai dengan jumlah tahun lamanya pengeluaran tersebut berpengaruh terhadap penghasilan.

Ada dua jenis metode untuk penyusutan dan amortisasi untuk mengurangi penghasilan bruto dalam perhitungan pajak.

  • Metode garis lurus, yaitu dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.
  • Metode saldo menurun, yaitu dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus dengan syarat dilakukan secara taat asas.

Berikut tabel tarif penyusutan dan tarif amortisasi sesuai UU PPh

Tabel Penyusutan

Tabel Amortisasi

Jika terjadi kejadian luar biasa, seperti bencana alam, atau pengalihan aktiva, nilai aktiva disusutkan sekaligus. Dengan kata lain, nilai buku yang ada langsung dibiayakan. Namun jika pengusaha menjual aktiva, harga jual itu menjadi penghasilan bagi si pengusaha. Selain itu, jika wajib pajak mendapatkan penggantian asuransi atas kerugian aktiva yang terjadi, asuransi itu masuk ke dalam penghasilan.

Jasa Konsultan Pajak untuk Membantu Hitung Biaya Pengurang Penghasilan Bruto

Sebagian wajib pajak mungkin lebih mudah dalam menghitung penghasilan neto karena tidak memiliki banyak pengurang untuk penghasilan bruto untuk keperluan lapor SPT PPh Tahunan. Namun jika Anda seorang pengusaha atau merupakan seorang karyawan yang mengelola pajak perusahaan Anda, tentu menghitung PPh terutang menjadi momok yang memusingkan setiap akhir-awal tahun karena ada biaya-biaya pengurang penghasilan bruto dengan tarif yang berbeda-beda dan peraturan yang berbeda-beda.

Anda dapat menyerahkan masalah penghitungan ini kepada jasa konsultan pajak Rusdiono Consulting. Sebagai jasa konsultan pajak yang berpengalaman di bidang perpajakan dan keuangan, tim Rusdiono Consulting dapat membantu Anda dalam menentukan biaya-biaya yang dapat menjadi pengurang penghasilan bruto, dan yang bukan merupakan biaya pengurang. 

Lebih lanjut lagi, jasa konsultan pajak dapat membantu Anda menghitungkan besaran penghasilan neto dengan mengurangkan penghasilan bruto terhadap biaya pengurang secara akurat dan sesuai dengan tarif yang berlaku. Kemudian membantu Anda dalam menghitung PPh terutang sehingga Anda tidak perlu khawatir kurang bayar atau sampai terlambat lapor SPT Tahunan.

Selain membantu mempermudah menghitung pajak Anda, jasa konsultan pajak Rusdiono Consulting juga membantu Anda dalam mengelola dan mengurus administrasi perpajakan, memandu dalam pembuatan laporan keuangan, serta melakukan financial modeling untuk bisnis Anda. Silakan hubungi langsung Rusdiono Consulting untuk informasi lebih lengkap.


August 8, 2020
1076-1280x853.jpg

Dalam berbisnis, segala jenis usaha tak terlepas dari kewajiban membayar pajak. Tak terkecuali usaha jasa konstruksi, yang dikenal sebagai Pajak Penghasilan (PPh) Final Jasa Konstruksi. 

PPh jasa konstruksi adalah pajak penghasilan bagi perusahaan yang berjalan di bidang konstruksi. Sementara itu, tarif PPh sendiri bervariasi sesuai kualifikasi usaha masing-masing. Maka dari itu, penting untuk mengetahui ruang lingkup jasa konstruksi terlebih dahulu.

Ruang Lingkup Jasa Konstruksi

Jika melihat Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Atas Usaha Dari Usaha Jasa Konstruksi, jasa konstruksi berarti pelayanan jasa konsultasi perencanaan kerja konstruksi, pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan pengawasan terhadap pekerjaan konstruksi. Dengan kata lain, jasa konstruksi bermula dari tahap konsultasi hingga penyelesaian bangunan atau sebuah pekerjaan.

Terdapat istilah khusus yang terkenal dalam jasa konstruksi, yakni nilai kontrak. Nilai yang merupakan besaran nominal dalam setiap pelayanan jasa konstruksi. Hal tersebut pada akhirnya dikenakan PPh Jasa Konstruksi, yang diacu dari PP No.5 Tahun 2008.

Ragam usaha jasa konstruksi menurut PPh Final Pasal 4 Ayat 2 yaitu sebagai berikut:

  • Jasa Perencanaan Konstruksi

Pelayanan jasa oleh individu atau badan yang menyusun perencanaan bangunan dalam bentuk dokumen. 

  • Jasa Pelaksanaan Konstruksi

Pelayanan jasa oleh individu atau badan yang merealisasikan perencanaan menjadi sebuah bangunan atau bentuk fisik lain. Dapat juga sebagai gabungan antara perencanaan, pengadaan, serta pembangunan. 

  • Jasa Pengawasan Konstruksi

Pelayanan jasa oleh individu atau badan yang mengawasi mulai tahap awal sampai pelaksanaan konstruksi selesai. 

Tarif PPh Final Jasa Konstruksi

Tarif pajak yang dikenakan akan terbagi menjadi 5, yaitu:

  • 2 persen, penyedia jasa yang mempunyai kualifikasi usaha kecil yang melaksanakan konstruksi.
  • 4 persen, penyedia jasa yang tidak mempunyai kualifikasi usaha yang melaksanakan konstruksi.
  • 3 persen, penyedia jasa selain penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam poin a dan b.
  • 4 persen, penyedia jasa yang mempunyai kualifikasi usaha yang merencanakan dan mengawasi konstruksi.
  • 6 persen, penyedia jasa yang tidak mempunyai kualifikasi usaha yang merencanakan dan mengawasi konstruksi.

Dalam hal kualifikasi, syarat yang diperlukan yakni memiliki perizinan usaha atau sertifikasi (Sertifikat Badan Usaha) yang diperoleh dari lembaga berwenang seperti LPJK.

Sedangkan penyedia jasa konstruksi berbentuk badan dikenakan PPh Pasal 23 sementara berbentuk pribadi dikenakan PPh Pasal 21. Lalu perbedaannya apa dengan Pasal 4 Ayat 2? Pajak 4 Ayat 2 bersifat final sementata PPh tidak bersifat final karena pada Pasal 4 (2) menyebutkan kata “Usaha Jasa Konstruksi” sedangkan PPh hanya “Jasa Konstruksi”.

Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya bahwa tarif PPh jasa konstruksi disesuaikan dengan kondisi penyedia jasa konstruksi. Contoh, ketika penyedia jasa adalah jasa yang mempunyai kualifikasi usaha kecil, maka dikenakan tarif 2 persen.

Baca juga: Pajak Jasa Perantara: Pengertian dan Besar Tarif PPh 23 yang Benar

Cara Menghitung PPh Final Jasa Konstruksi

Cara menghitung PPh Jasa Konstruksi adalah dengan mengalikan nilai kontrak yang belum termasuk PPN dengan tarif PPh Jasa Konstruksi. 

Sementara itu, pembayaran pajak dilakukan langsung oleh penyedia jasa kepada kantor pajak dan pengguna jasa akan mendapatkan surat pemberitahuan pemotongan PPh Jasa Konstruksi.

Contoh Perhitungan PPh Jasa Konstruksi

Bapak Yoni akan membangun sebuah bangunan di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Bapak Yoni menggunakan perusahaan jasa konstruksi yang masih dikualifikasikan sebagai perusahaan kecil namun direkomendasikan oleh temannya.

Bapak Yoni melakukan konsultasi perencanaan, tata letak bangunan, ukuran setiap ruangan, memilih bahan bangunan, hingga proses pengerjaaan. 

Perusahaan konstruksi tersebut pun memberi Bapak Yoni sebuah dokumen yang berisikan rincian biaya, rincian biaya ini yang dikenal sebagai nilai kontrak.

Nilai kontrak sebesar 3 miliar rupiah tersebut disetujui kedua belah pihak di atas dengan tanda tangan diatas materai dan akan dibayar setelah pengerjaan selesai. 

Maka perhitungannya sebagai berikut:

Nilai Kontrak X Tarif PPh Jasa Konstruksi (Perusahaan Kecil)

3 Miliar Rupiah X 3 persen = 90.000.000

Maka, penyedia jasa menyetor sebesar 90 juta rupiah ke kantor pajak sebagai Pajak Penghasilan Jasa Konstruksi.

Setelah itu, Bapak Yoni akan mendapat bukti potong PPh final jasa konstruksi dari penyedia jasa yang didapat dari kantor pajak. Bukti potong inilah yang akan dilaporkan sebagai SPT Pajak Bapak Bapak Yoni. 

Baca juga: SPPKP: Keuntungan, Syarat, dan Cara Mendapatkannya

Prosedur Pelaporan PPh Final Jasa Konstruksi

Pembayaran serta pelunasan harus dilakukan selambat-lambatnya tanggal 10 bulan selanjutnya setelah bulan terutang PPh oleh pengguna jasa. Dapat juga tanggal 15 bulan selanjutnya setelah bulan pembayaran diterima oleh penyedia jasa.

Sementara pelaporan SPT baik untuk pengguna maupun pemberi jasa, selambat-lambatnya dilaporkan pada 20 hari berikutnya setelah bulan terutang atau bulan pembayaran diterima.

Cara pembayaran atau penyetoran PPh final jasa konstruksi menurut PP 51 Tahun 2008 Pasal 5 Ayat 1, yakni dipotong sendiri oleh pemotong PPh Final, dengan pengguna jasa sebagai pemotong pajak atau disetor sendiri oleh pemotong pajak. Kode akun pajak PPh Final Jasa Konstruksi yakni 411128 dan kode jenis setorannya adalah 409.

Jika terdapat selisih kekurangan PPh terutang yang dipotong atau disetor sendiri, maka penyedia jasa wajib menyetor selisih kekurangan pembayaran tersebut. 

Agar memudahkan, Anda dapat menggunakan jasa konsultan pajak yang membantu Anda menyelesaikan prosedur pembayaran dan penyetoran pajak yang dilakukan melalui layanan sistem elektronik online seperti pajak.go.id atau loket/teller (over the counter) atau dapat juga melalui aplikasi penyedia jasa elektronik yang telah bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). 

Dengan berkonsultasi terhadap konsultan pajak seperti Rusdiono Consulting, usaha jasa konstruksi Anda akan dipandu mematuhi pajak dengan menghitung,membayar, serta melaporkan pajak sesuai regulasi terbaru pemerintah. Segera hubungi kami untuk informasi lebih lengkapnya. 

 


July 28, 2020
397-1-1280x853.jpg

Formulir 1721 A1 merupakan bukti pemotongan PPh 21 yang diberikan oleh pengusaha atau pemberi kerja kepada karyawannya. Kemudian, sang karyawan akan menggunakan formulir ini pada saat melaporkan SPT Tahunan Pribadi, baik itu SPT 1770 S maupun SPT 1770 SS. Apa saja isi formulir 1721 A1? Bagaimana mendapatkannya? Bagaimana cara melaporkannya? Simak selengkapnya di sini.

Formulir 1721 A1 untuk karyawan

Sebenarnya, ada dua jenis formulir bukti pemotongan PPh 21 karyawan, yaitu formulir 1721 A1 dan formulir 1721 A2. Formulir 1721 A2 diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), anggota Polisi Republik Indonesia (Polri), dan/atau pensiunannya.

Sedangkan, formulir 1721 A1 diberikan pada pegawai swasta berstatus tetap, penerima pensiunan berkala, dan penerima tunjangan hari tua berkala. Bukti potong jenis ini yang akan dibahas selengkapnya dalam artikel ini.

Sebagai pengusaha atau pemberi kerja, Anda wajib membuat formulir atau bukti potong PPh 21 sebelum akhir masa pelaporan pajak untuk diberikan pada karyawan. Sebab, karyawan perlu melakukan pelaporan SPT Tahunan Pribadi dan memerlukan formulir bukti potong pajak penghasilan 21 dari perusahaan tempat bekerja sebagai salah dokumen yang perlu dilampirkan. Dari dokumen itu pula, karyawan selaku wajib pajak pribadi dapat mengisi SPT Tahunan tersebut. 

Di sisi lain, bukti potong ini juga menjadi alat untuk mengawasi pajak yang sudah dipotong oleh pemberi kerja. Karena itu, Anda perlu menyimpan bukti potong ini dengan rapi. Selain itu, bukti potong ini juga berguna dalam proses pemeriksaan kebenaran dari pajak yang telah dibayarkan oleh pemberi kerja.

Ketentuan Pembuatan Bukti Potong PPh 21 untuk Karyawan

Sebelum membuatnya, ketahui terlebih dahulu mengenai ketentuan proses pembuatannya.

  • Formulir 1721 A1 adalah bukti pemotongan PPh 21 untuk 1 tahun pajak atau selama karyawan bekerja pada pemberi kerja di tahun pajak tersebut.
  • Formulir 1721 A1 hanya diberikan untuk karyawan tetap, tidak untuk karyawan tidak tetap dan bukan karyawan.
  • Formulir 1721 A1 akan dipakai oleh karyawan tetap dalam melaporkan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Pribadi.
  • Berdasarkan PER-32/PJ/2015, pemberi kerja diwajibkan membuat formulir 1721 A1 selambat-lambatnya Januari tahun berikutnya.

Format Pembuatan Bukti Potong PPh 21 1721 A1

Bagaimana cara membuat bukti potong PPh 21 1721 A1? Anda dapat membuatnya secara manual menggunakan excel. Dalam format tersebut, Anda harus memasukkan informasi berikut:

Pada bagian A, yaitu Identitas Penerima Penghasilan yang Dipotong

  • Nomor
  • Masa perolehan penghasilan
  • NPWP Pemotong
  • Nama Pemotong
  • Identitas Penerima Penghasilan
  • NPWP
  • NIK/Nomor Paspor
  • Nama
  • Alamat
  • Jenis Kelamin
  • Status/Jumlah Tanggungan Keluarga untuk PTKP
  • Nama Jabatan
  • Karyawan Asing
  • Kode Negara Domisili
  • Kode Objek Pajak

Pada bagian B, yaitu Rincian dan Penghitungan PPh Pasal 21

  • Kode Objek Pajak
  • Penghasilan Bruto
  • Gaji/Pensiun atau THT/JHT
  • Tunjangan PPh
  • Tunjangan lainnya, uang lembur dan sebagainya
  • Honorarium dan imbalan lain sejenisnya
  • Premi asuransi yang dibayar pemberi kerja
  • Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 21
  • Tantiem, bonus, gratifikasi, jasa produksi dan THR
  • Jumlah penghasilan bruto
  • Pengurangan
  • Biaya jabatan/biaya pensiun
  • Iuran pensiun atau iuran THT/JHT
  • Jumlah pengurangan
  • Penghitungan PPh Pasal 21
  • Jumlah penghasilan neto
  • Penghasilan neto masa sebelumnya
  • Jumlah penghasilan neto untuk perhitungan PPh Pasal 21 (setahun/disetahunkan)
  • Penghasilan tidak kena pajak (PTKP)
  • Penghasilan kena pajak setahun/disetahunkan
  • PPh Pasal 21 atas penghasilan kena pajak setahun/disetahunkan
  • PPh Pasal 21 yang telah dipotong masa sebelumnya
  • PPh 21 Terutang
  • PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang telah dipotong dan dilunasi

Pada bagian C, terdapat identitas pemotong pajak

  • NPWP
  • Nama
  • Tanggal & tanda tangan

Selain itu, perhatikan format nomor untuk bukti potong PPh 21 1721 A1. Penomoran yang benar adalah 1.1-mmm-yy-xxxxxxx. Huruf ‘mmm’ melambangkan masa pajak dibuatnya bukti potong tersebut, ‘yy’ melambangkan tahun pajak, dan ‘xxxxxxx’ adalah nomor urut bukti potong.

Format penomoran masa pendapatan penghasilan adalah mm-mmm, melambangkan masa kerja karyawan dari bulan awal sampai bulan terakhir.

Identitas pemotong harus sama dengan identitas yang menandatangani bukti potong tersebut.

Selain membuat formulir 1721 A1 secara manual, Anda juga dapat mengunduh formatnya langsung di situs resmi DJP Online. Anda tinggal mengisi format yang telah tersedia dari DJP.

Mengalami kesulitan dalam mempersiapkan formulir 1721 A1 untuk karyawan Anda? Atau sebagai pengusaha, Anda kewalahan dalam mengurus pajak penghasilan karyawan, mulai dari persiapan, pembayaran, sampai pelaporannya? Rusdiono Consulting siap membantu Anda dalam mengelola perpajakan perusahaan Anda. Sebagai jasa konsultan pajak yang berpengalaman selama 8 tahun, Rusdiono Consulting dapat membantu Anda dalam melaksanakan kepatuhan pajak, salah satunya melakukan pemotongan pajak atas penghasilan karyawan, membayar dan melaporkannya pada negara. Tim Rusdiono Consulting dapat membantu Anda dalam menghitung besaran tarif PPh 21 karyawan, mempersiapkan formulir bukti potong PPh 21 1721 A1 maupun 1721 A2, membayarkan PPh 21 setiap bulannya, dan melaporkannya sesuai batas waktu yang ditentukan. Dengan begitu, Anda tidak perlu khawatir lagi mengurusi pajak penghasilan karyawan Anda. Silakan hubungi jasa konsultan pajak Rusdiono Consulting untuk informasi selengkapnya.

 


July 17, 2020
127-1280x853.jpg

Apa Anda sering menggunakan jasa perantara dalam bisnis Anda? Berapa besaran PPh 23 yang harus Anda bayar untuk jasa tersebut? Mari mengulik jasa perantara PPh 23 di artikel ini!

Pengertian Jasa Perantara

Dalam berbisnis atau bertransaksi, Anda mungkin tidak asing dengan jasa perantara atau keagenan. Mengutip dari Wikipedia, pada dasarnya perantara atau makelar adalah orang yang bertindak sebagai penghubung antara dua belah pihak yang berkepentingan. Namun pengertiannya dapat meluas tergantung pada aspeknya. Misalnya dalam dunia perdagangan, perantara adalah penghubung antara pihak penjual dan pihak pembeli, atau penghubung antara penyedia barang atau jasa dengan konsumennya. Pemakaian jasa ini akan sering Anda temukan dalam dunia asuransi, jasa keuangan, dan perumahan. 

Sedangkan menurut Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-1065/PJ/032/2007, jasa perantara adalah jasa yang diberikan oleh orang pribadi yang bertindak sebagai perantara dalam perikatan perjanjian di bidang tertentu, dengan imbalan balas jasa atau pembagian keuntungan dan bertindak atas perintah atau atas nama orang-orang yang tidak ada ikatan kerja tetap dengan dirinya, selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21. 

Berdasarkan pengertian tersebut, ada imbalan jasa yang harus dibayarkan oleh pihak pengguna jasa perantara, tentunya dengan pajaknya. Pajak jenis apa, dan berapa besarannya? 

Pajak Jasa Perantara 

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008, jasa perantara atau keagenan termasuk ke dalam jenis jasa lain yang disebutkan dalam Undang-Undang PPh Pasal 23. Jadi, jasa perantara dikenakan PPh 23. Besaran tarifnya adalah 2%, sesuai dengan ayat 1 huruf C angka 2 yang berbunyi:

“Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.”

Namun jika jasa perantara tidak memiliki NPWP, besarnya tarif pemotongan jadi lebih tinggi 100% daripada tarif yang berlaku. 

Dasar pengenaan pajak jasa perantara PPh 23 ini adalah persentase dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai. Artinya yang dimaksud dengan jumlah bruto tidak termasuk pajak pertambahan nilai adalah jumlah tagihan bruto tidak termasuk PPN dari pemberi jasa dikurangi dengan pembayaran kepada pihak ketiga.

Teknis Pemotongan Jasa Perantara PPh 23

Pihak yang memotong atau memungut PPh 23 adalah wajib pajak yang memberikan imbalan pada jasa perantara. Sederhananya, pihak yang menggunakan jasa perantara. Pihak pengguna jasa perantara memotong PPh 23 sebesar 2% saat membayar jasanya, kemudian menyerahkannya menggunakan metode pembayaran yang tersedia. 

Selanjutnya, pihak pemotong PPh 23 juga harus membuat bukti potong PPh Pasal 23 dan memberikan salah satu rangkap pada pihak jasa perantara, dan menyimpan bukti potong rangkap lainnya untuk pelaporan SPT Masa PPh Pasal 23. 

Contoh Kasus:

PT Abadi Jaya memberikan order pada PT Sinar Terang untuk perusahaan pengangkutan darat untuk bisnisnya. PT Sinar Terang kemudian menerbitkan tagihan kepada PT Abadi Jaya sebesar Rp20.000.000 atas jasanya tersebut. PT Sinar Terang merupakan wajib pajak badan yang memiliki NPWP. Berapa besar PPh 23 yang harus PT Abadi Jaya potong dari penghasilan tersebut?

Pada kasus ini, PT Sinar Terang bergerak sebagai jasa perantara untuk PT Abadi Jaya. Maka, penghasilan yang diterima PT Sinar Terang merupakan imbalan yang dikenakan pajak penghasilan Pasal 23 sebesar 2%. Perhitungannya:

Tarif PPh 23= 2% x DPP

Tarif PPh 23= 2% x Rp20.000.000

Tarif PPh 23= Rp400.000

Maka, PT Abadi Jaya harus memotong PPh 23 jasa perantara PT Sinar Terang sebesar Rp400.000. 

Perhitungan PPh 23 ini dapat membingungkan Anda yang memiliki banyak transaksi dengan sejumlah jasa perantara. Namun, Anda dapat berkonsultasi dengan jasa konsultan pajak Rusdiono Consulting untuk mendapatkan penghitungan pajak yang akurat. Rusdiono Consulting selaku jasa konsultan pajak berpengalaman dapat membantu Anda dalam mengelola PPh Pasal 23, maupun jenis pajak lainnya yang berkaitan dengan bisnis Anda. Tidak hanya itu, Rusdiono Consulting dapat membantu Anda dalam melaksanakan kepatuhan pajak, perencanaan pajak, pendampingan dalam mengelola keuangan perusahaan, sampai audit dan likuidasi. Hubungi kami untuk mengetahui lebih lengkap mengenai servis yang dapat membantu bisnis Anda berkembang.


June 29, 2020
601-1280x853.jpg

E bupot menjadi salah satu topik yang hangat diperbincangkan akhir-akhir ini, terutama dalam dunia perpajakan. Pasalnya, Direktur Jenderal Pajak baru saja menetapkan bahwa semua Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama di seluruh Indonesia harus membuat bukti pemotongan dan menyampaikan SPT Masa Penghasilan (PPh) Pasal 23 dan/atau 26. Artinya, PKP yang disebutkan itu menjadi pihak pemotong PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26. Keputusan ini akan mulai diberlakukan pada bulan Agustus 2020.

Lalu, apa hubungannya dengan e bupot? e-Bupot adalah aplikasi resmi dari DJP untuk membuat bukti pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dan menyampaikan SPT Masa PPh kedua pajak penghasilan tersebut. Aplikasi ini sebagai bentuk peningkatan layanan pajak di era digital dan DJP sendiri telah menghimbau wajib pajak untuk membuat bupot dan menyampaikan SPT Masa PPh melalui aplikasi e-Bupot. Jika belum akrab dengan aplikasi ini, mari mengenalnya lebih jauh di artikel ini!

Aplikasi e Bupot DJP

Sebagai wajib pajak yang wajib memotong atau memungut PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26, Anda wajib menggunakan e-Bupot untuk melaksanakan kewajiban perpajakan tersebut. Sebab telah tertuang dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-599/PJ/2019 kalau Pemotong PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26 harus membuat bukti pemotongan dan diwajibkan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. Per-04/PJ/2017, yakni menggunakan aplikasi resmi e-Bupot 23/26 yang tersedia di laman DJP. 

Untuk menggunakan aplikasi e bupot ini, ada beberapa syarat yang harus Anda penuhi terlebih dahulu, di antaranya:

  1. Wajib Pajak sebagai Pemotong Pajak sudah terdaftar di KPP dan memiliki e-Fin.
  2. Wajib Pajak terlebih dahulu harus memiliki Sertifikat Elektronik.
  3. Wajib Pajak menerbitkan lebih dari 20 bukti pemotongang PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dalam satu masa pajak.
  4. Jumlah penghasilan bruto yang menjadi dasar pengenaan PPh lebih dari Rp100 juta dalam satu bukti pemotongan.
  5. Wajib Pajak sudah pernah menyampaikan SPT Masa Elektronik.

Jenis Bukti Pemotongan di e-Bupot

Dalam aplikasi e-Bupot, Anda dapat membuat tiga jenis bukti pemotongan, di antaranya:

  1. Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau Bukti Pemotongan PPh Pasal 26. Ini adalah formulir atau dokumen lain yang dipersamakan yang digunakan Pemotong Pajak sebagai bukti pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dan pertanggungjawabannya atas pemotongan pajak penghasilan tersebut.
  2. Bukti Pemotongan Pembatalan. Ini adalah bukti pemotongan yang dibuat untuk membatalkan bukti pemotongan yang telah dibuat sebelumnya karena ada pembatalan transaksi.
  3. Bukti Pemotongan Pembetulan. Sesuai namanya, ini adalah bukti pemotongan untuk membetulkan kekeliruan dalam pengisian Bukti Pemotongan yang telah dibuat sebelumnya.

Kewajiban Buat Bukti Potong Elektronik

Pada awalnya, bukti potong PPh Pasal 23 dan Pasal 26 dibuat secara manual alias berbentuk dokumen fisik. Saat aplikasi e bupot resmi dirilis, DJP masih menerima bukti potong dalam bentuk hard copy. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi, yaitu PKP menerbitkan tidak lebih dari 20 bukti pemotongang PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dalam satu masa pajak, serta jumlah penghasilan bruto yang menjadi dasar pengenaan PPh tidak lebih dari Rp100 juta untuk setiap bukti pemotongan dalam satu masa pajak. Selain itu, pemotong pajak harus membawa berbagai macam jenis dokumen pada saat penyampaian SPT Masa.

Namun pada 10 Juni 2020 lalu, Dirjen Pajak menetapkan PKP yang terdaftar di KPP Pratama di seluruh Indonesia untuk membuat bukti pemotongan PPh 23 dan/atau PPh 26 serta menyampaikan SPT Masa PPh 23 dan/atau PPh 26 melalui aplikasi e-Bupot yang mulai wajib berlaku bulan Agustus 2020.

Ada pun jika pemotong PPh 23 dan/atau PPh 26 menerbitkan kurang dari 20 bukti pemotongan selama satu masa pajak, tetap wajib menggunakan e-Bupot. 

Jika belum pernah menggunakan e-Bupot sehingga harus mengurusi syaratnya dari awal, Anda tidak perlu khawatir dalam mengurusnya. Anda dapat berkonsultasi dengan jasa konsultan pajak Rusdiono Consulting. Sebagai konsultan pajak profesional dan berpengalaman, Rusdiono Consulting dapat membantu Anda dalam melaksanakan kewajiban perpajakan Anda. Mulai dari urusan administrasi, perhitungan pajak, pembayaran dan pelaporan pajak, semua sesuai dengan peraturan perpajakan yang terbaru. 

Konsultan Pajak Rusdiono Consulting juga dapat membantu Anda dalam membuat bukti potong PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26, kemudian melaporkan SPT Masa PPh menggunakan aplikasi e Bupot resmi dari DJP. Hubungi kami untuk informasi lebih lanjut. 


June 24, 2020
2408-1280x853.jpg

PPh Pasal 23 merupakan salah satu pajak penghasilan yang harus wajib pajak bayar ketika melakukan transaksi penyerahan jasa, yang tidak dipotong oleh PPh Pasal 21. Namun sebenarnya, pemotongan pajak penghasilan pasal 23 ini tidak hanya untuk jasa. Ada banyak jenis penghasilan yang menjadi objek PPh 23 ini. Apa saja?

Objek PPh Pasal 23

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan, PPh Pasal 23 adalah pajak atas penghasilan dari penyerahan jasa, modal, atau hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. Merinci lebih lanjut, berikut ini adalah objek serta tarif pajak yang berlaku:

  1. Sebesar 15% dari jumlah bruto atas:
  • Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
  • Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
  • Royalti
  • Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.

2. Sebesar 2% dari jumlah bruto atas:

  • Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai PPh Pasal 4 ayat 2.
  • Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain yang telah dipotong oleh PPh Pasal 21.
  • Jasa lainnya seperti yang tercantum dalam PMK No 141/PMK.03/2015

Jika wajib pajak yang menerima penghasilan tidak memiliki NPWP, besar tarif pajaknya lebih tinggi 100% daripada tarif yang berlaku tersebut.

Penghasilan lainnya yang tidak termasuk dalam objek PPh 23 di antaranya:

  • Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank.
  • Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi.
  • Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan dan kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor (untuk PT, BUMN, dan BUMD yang menerima dividen).
  • Dividen yang diterima orang pribadi.
  • Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.
  • Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi pada anggotanya.
  • Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pemotong atau Pemungut PPh 23

Pemotongan atau pemungutan PPh 23 umumnya terjadi ketika adanya transaksi antara pihak pemberi penghasilan atau penerima jasa dengan penerima penghasilan. Pihak-pihak yang berhak memotong atau memungut pajak penghasilan pasal 23 adalah:

  • Badan Pemerintah
  • Subjek pajak badan dalam negeri
  • Penyelenggara kegiatan
  • Bentuk Usaha Tetap (BUT)
  • Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
  • Wajib pajak orang pribadi dalam negeri tertentu yang ditunjuk Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan KEP-50/PJ/1994.

Di sisi lain, pihak penerima penghasilan dapat berupa wajib pajak dalam negeri orang pribadi, wajib pajak dalam negeri badan, dan bentuk usaha tetap (BUT).

Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 23

Seperti yang telah disebutkan di atas, masing-masing objek pajak penghasilan memiliki tarif yang berbeda-beda. Rumusnya adalah:

Tarif pajak x jumlah bruto penghasilan

Contoh kasus penghitungan PPh 23:

PT Maju Jaya akan membagikan dividen melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan melakukan pembayaran dividen tunai pada PT Kharisma yang melakukan penyertaan modal sebesar 10% sebesar Rp15 juta. Berapa besaran PPh 23 atas dividen tersebut?

Penghasilan jenis dividen dikenakan tarif pajak sebesar 15%. Maka, perhitungannya:

PPh Pasal 23= 15% x Rp15.000.000

PPh Pasal 23= Rp2.250.000

Besaran PPh Pasal 23 yang harus dipungut atas dividen tersebut adalah sebesar Rp2.250.000

Itulah contoh perhitungan PPh 23 atas penghasilan dividen. Tentunya, perhitungan pajak penghasilan pasal 23 akan semakin kompleks tergantung pada besar perusahaan Anda dan jenis transaksi yang Anda lakukan. Namun tidak perlu bingung, Anda dapat menggunakan jasa konsultan pajak Rusdiono Consulting untuk membantu Anda dalam penghitungan pajak penghasilan pasal 23, maupun pajak penghasilan lainnya. Serahkan penghitungan pajak penghasilan yang rumit pada konsultan pajak profesional Rusdiono Consulting.

Pembayaran dan Pelaporan PPh Pasal 23

Bagaimana cara bayar dan lapor PPh Pasal 23? Pihak pemotong atau pemungut PPh tersebut harus membuat ID Billing atas PPh Pasal 23, lalu membayarnya melalui bank atau kantor pos. Pembayaran pajak ini tidak boleh lewat dari batas waktunya, yaitu setiap tanggal 10 bulan pajak selanjutnya.

Selanjutnya, pihak pemotong pajak harus memberikan bukti potong PPh 23 kepada pihak penerima penghasilan yang menjadi bukti kalau penghasilan tersebut dipotong pajaknya. 

Setelah membayar dan memberikan bukti potong, pihak pemotong PPh 23 harus melakukan pelaporan SPT Masa PPh 23. Pelaporan ini tidak boleh lewat dari tanggal 20 bulan pajak berikutnya.

Proses pembayaran dan pelaporan ini dapat memakan waktu, terutama jika Anda menghadapi kesulitan dalam melaksanakan kepatuhan pajak. Anda juga dapat menyerahkan tugas ini pada jasa konsultan pajak Rusdiono Consulting. Partner kami akan membantu Anda dalam menghitung, membayar, dan melaporkan PPh Pasal 23 Anda. 

 


May 15, 2020
2-1280x899.jpg

Jenis pajak penghasilan dapat Anda temukan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. Namun, kami akan meringkasnya keseluruhan informasi mengenai jenis pajak penghasilan dalam artikel ini.

Jenis Pajak Penghasilan yang Ada di Indonesia

Berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan yang berlaku, ada 7 jenis pajak penghasilan yang perlu Anda ketahui. Apa saja?

  1. PPh Pasal 21

Jenis pajak penghasilan yang paling umum dalam dunia perpajakan adalah PPh Pasal 21. Ini adalah pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang diterima oleh wajib pajak pribadi dalam negeri. Secara sederhana, PPh 21 dikenakan atas penghasilan yang Anda terima dari pekerjaan Anda.

Namun selain penghasilan, PPh 21 juga dikenakan atas tunjangan, honorarium, komisi, bonus, hadiah dari undian, laba usaha, keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta, bunga, dividen, royalti, sewa yang berkaitan dengan penggunaan harta, keuntungan selisih kurs mata uang asing, premi asuransi, dan sebagainya. Daftar objek pajak ini ada pada pasal 4 ayat 1 undang-undang PPh.

Tarif pemotongan atas penghasilan ini merupakan tarif progresif yang juga diatur dalam undang-undang yang sama, yaitu pada pasal 17. Jika wajib pajak tidak memiliki NPWP, tarif yang dikenakan 20% lebih besar dari yang diterapkan.

2. PPh Pasal 22

PPh Pasal 22 adalah pemotongan atau pemungutan pajak pada badan usaha tertentu, baik milik pemerintah maupun swasta, yang melakukan kegiatan ekspor dan impor atas penjualan barang mewah. Penghitungan pajak ini lebih rumit dibandingkan lainnya karena PPh Pasal 22 hanya dikenakan pada perdagangan barang yang dianggap menguntungkan kedua belah pihak. Karena itu, PPh Pasal 22 langsung dikenakan pada saat transaksi berlangsung.

Siapa yang memungut pajak ini? Menteri Keuangan dapat menetapkan bendahara pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari wajib pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau usaha di bidang lain, dan wajib pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

3. PPh Pasal 23

PPh Pasal 23 adalah pajak yang dikenakan pada penghasilan atas modal, penyerahan jasa, hadiah, atau penghargaan selain yang sudah dipotong PPh Pasal 21. Tarif pajak penghasilan ini berbeda sesuai dengan jenisnya.

Tarif sebesar 15% dari jumlah bruto atas dividen, bunga, royalti, hadiah dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh Pasal 21

Tarif sebesar 2% dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, serta imbalan sehubungan dengan jasa teknik; jasa manajemen; jasa konstruksi; jasa konsultan; dan jasa selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.

Namun PPh Pasal 23 tidak dikenakan atas penghasilan yang dibayar atau terutang pada bank, sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi, dividen berasal dari cadangan laba ditahan atau kepemilikan saham paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor, laba yang diterima dari perseroang komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham atau persekutuan termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi, sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi pada anggotanya, serta penghasilan yang dibayar atau terutang pada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

4. PPh Pasal 25

Pajak penghasilan yang dibayar dengan sistem angsuran dengan tujuan meringankan wajib pajak untuk membayar pajak tahunannya.  Angsuran pajak tersebut sebesar Pajak Penghasilan terutang menurut SPT PPh tahun pajak lalu dikurangi dengan pajak penghasilan pasal 21, pasal 23, pasal 22, dan pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan (Pasal 24). Besaran pajak tersebut dibagi 12 bulan atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

PPh Pasal 25 ini harus dibayar sendiri dan tidak boleh terlambat. Jika telat, akan dikenakan denda sebesar 2% per bulannya. 

5. PPh Pasal 26

Pajak ini dikenakan atas penghasilan yang dibayarkan oleh wajib pajak dalam negeri pada wajib pajak luar negeri. Penghasilan tersebut meliputi dividen, bunga, royalti dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta, imbalan sehubungan dengan jasa dan pekerjaan, hadiah dan penghargaan, pensiun dan pembayaran berkala lainnya, premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya, serta keuntungan karena pembebasan utang.

Besaran tarif PPh Pasal 26 ini adalah 20% dari perkiraan penghasilan neto. 

6. PPh Pasal 29

Jika pajak terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak, kekurangan pembayaran pajak itu harus segera dilunasi sebelum menyampaikan SPT Tahunan PPh.

7. PPh Pasal 4 ayat (2)

PPh Pasal 4 ayat (2) dikenal dengan istilah PPh Final karena pemotongan pajaknya bersifat final. Pajak penghasilan ini dikenakan pada penghasilan berupa: 

  • Bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligaso dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi pada anggota koperasi pribadi.
  • Penghasilan berupa undian.
  • Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura.
  • Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan.
  • Penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah

Tarif pajak ini berbeda-beda tergantung dari jenis penghasilannya.

8. PPh PP 23 

Ada juga istilah PPh Final PP 23. Ini adalah pajak penghasilan final yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Subjek pajak penghasilan ini adalah mereka yang memiliki penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.8 miliar dalam satu tahun pajak. Tarif PPh Final PP 23 ini adalah sebesar 0,5% dari jumlah peredaran bruto tertentu. 

PPh Final PP 23 ini termasuk dalam PPh Pasal 4 ayat (2) karena bersifat final. Namun, penghasilan yang tidak termasuk dalam objek pajak ini adalah penghasilan dari jasa sehubungan pekerjaan bebas, penghasilan dari usaha yang dikenai PPh Final Pasal 4 ayat (2), serta penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri sehingga pajaknya telah dibayar di luar negeri.

Itulah 8 jenis pajak penghasilan yang ada di Indonesia. Kira-kira, mana yang bersinggungan dengan Anda? Jangan lupa untuk patuh bayar dan lapor pajak penghasilan Anda pada Pusat. Jika kewalahan dalam mengelola pajak penghasilan maupun pajak lainnya, Anda dapat berkonsultasi dengan Rusdiono Consulting. Sebagai jasa konsultan pajak yang terpercaya, kami dapat mempermudah Anda dalam memenuhi kewajiban perpajakan, salah satunya adalah menghitung pajak penghasilan Anda secara akurat, membayarkan dan melaporkannya secara tepat waktu.


May 15, 2020
49-1280x853.jpg

Perhitungan PPh 21 THR menjadi pekerjaan yang paling menyibukkan staf pajak atau HRD menjelang hari Raya Idul Fitri. Sebab, pada momen tersebut perusahaan harus membayarkan tunjangan hari raya serta memungut pajak dari pengeluaran tersebut. Bagaimana perhitungannya? Silakan simak selengkapnya di artikel ini.

Mengenal Tentang Tunjangan Hari Raya

Berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2016, Tunjangan hari raya atau biasa disingkat THR adalah pendapatan non upah yang wajib dibayarkan oleh Pengusaha pada pekerja/buruh atau keluarganya menjelang Hari Raya keagamaan. Dalam peraturan tersebut, hari-hari yang termasuk Hari raya Keagamaan adalah Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Natal, Hari Raya Nyepi, Hari Raya Waisak, dan Hari Raya Imlek.   

Jika merunut dari sejarahnya, gagasan pemberian THR ini muncul pada tahun 1950-an, tepatnya pada era kabinet Soekiman Wirjosandjojo. Hal itu didorong oleh mogok kerja yang dilakukan oleh para buruh serta munculnya tuntutan pemberian THR untuk semua pekerja Indonesia. Akhirnya, kebijakan THR diberlakukan dengan sejumlah undang-undang dan peraturan yang melandasi implementasinya, dan terus berkembang dari waktu ke waktu.

Pengusaha wajib memberikan THR pada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus atau lebih, dan memiliki hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau waktu tertentu.

Besaran Tunjangan Hari Raya

Berapa besaran THR yang pekerja dapatkan? Dalam peraturan yang sama disebutkan sebagai berikut:

  • Pekerja atau buruh yang telah bekerja selama 12 bulan secara terus menerus atau lebih akan mendapatkan THR sebesar 1 bulan upah.
  • Pekerja atau buruh yang telah bekerja 1 bulan secara terus menerus namun kurang dari 12 bulan, akan mendapatkan THR yang proporsional sesuai masa kerja dengan perhitungan: Masa kerja/12 x 1 bulan upah

Lebih lanjut, upah 1 bulan tersebut terdiri dari komponen upah tanpa tunjangan (upah bersih) atau upah pokok termasuk tunjangan tetap. Sedangkan jika pekerja atau buruh merupakan pekerja harian lepas, upah 1 bulan itu dihitung sebagai berikut:

  • Pekerja atau buruh yang telah bekerja selama 12 bulan atau lebih, upah 1 bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima dalam 12 bulan terakhir sebelum Hari Raya Keagamaan.
  • Jika bekerja kurang dari 12 bulan, upah 1 bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima tiap bulan selama masa kerja.

Pajak Atas THR

Apakah THR dikenakan pajak? Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 1, tunjangan termasuk dalam objek pajak penghasilan karena termasuk dalam tambahan kemampuan ekonomis yang diterima oleh wajib pajak.

Perhitungan PPh 21 atas THR dijelaskan lebih rinci dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-31/PJ/2012. Perhitungan PPh Pasal 21 untuk THR, tarif diterapkan atas perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 tahun dengan ketentuan:

  • Perkiraan atas penghasilan yang bersifat teratur adalah jumlah penghasilan teratur dalam 1 bulan dikalikan 12.
  • Dalam hal terdapat tambahan penghasilan yang bersifat tidak teratur maka perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 tahun adalah sebesar jumlah pada poin sebelumnya ditambah dengan jumlah penghasilan yang bersifat tidak teratur.

Perhitungan PPh 21 THR 

Mari menyimak contoh soal sederhana berikut:

Heru merupakan karyawan tetap di PT ABC yang telah bekerja selama 13 bulan dengan gaji per bulannya sebesar Rp6 juta. Heru telah menikah dengan pasangannya yang tidak bekerja dan memiliki 1 orang anak. Menjelang Hari Raya Idul Fitri, Heru mendapatkan THR sebesar 1x gajinya yaitu Rp6 juta. Maka, berapa besaran pajak atas THR Heru?

Pertama-tama, mulai hitung pajak penghasilan Heru. Dimulai dari menentukan besaran penghasilan neto setahun Heru.

Penghasilan bruto Heru setahun= Rp6.000.000 x 12 = Rp72.000.000

Biaya Jabatan= 5% x Rp72.000.000= Rp3.600.000

Penghasilan neto Heru setahun= Penghasilan bruto – biaya jabatan

Penghasilan neto Heru setahun=Rp72.000.000 – Rp3.600.000

Penghasilan neto Heru setahun= Rp68.400.000

Selanjutnya adalah menghitung penghasilan kena pajaknya. Heru telah menikah dengan istri tidak bekerja dan memiliki 1 orang anak maka kodenya adalah K1 sebesar Rp63.000.000.

Penghasilan Kena Pajak= Penghasilan neto setahun – PTKP K1

Penghasilan Kena Pajak= Rp68.400.000 – Rp63.000.000 

Penghasilan Kena Pajak= Rp5.400.000

PPh 21 terutang setahun= 5% x Rp5.400.000= Rp270.000

Kemudian mari menghitung PPh 21 atas THR Heru. 

Penghasilan bruto= Penghasilan setahun + THR

Penghasilan bruto= Rp72.000.000 + Rp6.000.000

Penghasilan bruto Heru= Rp78.000.000

Komponen pengurang

Biaya jabatan= 5% x Rp78.000.000

Biaya jabatan= Rp3.900.000

Penghasilan neto setahun= Penghasilan bruto – komponen pengurang

Penghasilan neto setahun= Rp78.000.000 – Rp3.900.000

Penghasilan neto setahun= Rp74.100.000

Terakhir adalah menghitung Penghasilan Kena Pajak (PKP).

PKP= Penghasilan neto setahun – PTKP

PKP= 74.100.000 – Rp63.000.000

PKP= Rp11.100.000

PPh 21 terutang setahun adalah= 5% x Rp11.100.000

PPh 21 terutang setahun adalah= Rp550.000

PPh 21 atas THR= PPh 21 terutang setahun – Pajak penghasilan Heru

PPh 21 atas THR= Rp550.000 – Rp270.000

PPh 21 atas THR= Rp280.000

Maka, pajak atas THR Heru adalah sebesar Rp280.000.

Itulah contoh perhitungan PPh 21 THR. Masing-masing pekerja akan memiliki besaran pajak yang berbeda, tergantung dari besaran penghasilan, status perkawinan, jumlah tanggungannya, dan lainnya. Jika mengalami kesulitan dalam melakukan perhitungan ini, Anda dapat berkonsultasi dengan konsultan pajak. Rusdiono Consulting sebagai konsultan pajak berpengalaman akan membantu Anda untuk menghitung pajak penghasilan THR maupun penghasilan karyawan perusahaan Anda. Tidak hanya menghitung, Rusdiono Consulting sebagai konsultan pajak dan accounting juga dapat mempermudah pekerjaan Anda dalam mengurus perpajakan. 

 


May 10, 2020
1178-1280x853.jpg

Bagaimana cara membayar pajak penghasilan atau PPh? Ada beberapa metode yang perlu Anda ketahui untuk membayar PPh ini, baik pribadi maupun badan. Mari membahas lebih dalam mengenai pembayaran pajak di artikel ini.

Sekilas Mengenai Pajak Penghasilan

Pajak penghasilan atau biasa disebut PPh adalah pajak negara yang dikenakan terhadap setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak. 

Subjek pajak dan objek pajak dari pajak penghasilan ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Secara singkat, subjek pajak PPh ini terbagi menjadi dua, yaitu subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Sedangkan objek pajaknya meliputi penghasilan, hadiah, laba usaha, keuntungan penjualan, bunga, dividen, royalti, dan sebagainya.

Ada 8 jenis pajak penghasilan yang perlu Anda ketahui, di antaranya:

1. Pajak Penghasilan Pasal 21

Pemungutan pajak atas penghasilan yang diterima oleh wajib pajak pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor 31/PJ/2012

2. Pajak Penghasilan Pasal 22

Pemungutan pajak pada badan usaha tertentu, baik milik pemerintah maupun swasta, yang bergerak di bidang ekspor, impor atas penjualan barang-barang tergolong mewah.

3. Pajak Penghasilan Pasal 23

Pemungutan pajak dari wajib pajak saat terjadi transaksi seperti transaksi dividen, royalti, bunga, hadiah, penghargaan, sewa, dan penghasilan lain yang berkaitan dengan penggunaan aset selain tanah atau transfer bangunan atau jasa.

4. Pajak Penghasilan Pasal 25

Angsuran pajak yang berasal dari jumlah pajak penghasilan terutang menurut SPT Tahunan PPh yang dikurangi PPh dipotong dan PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan.

5. Pajak Penghasilan Pasal 26

Pemungutan pajak atas transaksi pembayaran gaji, bunga, dividen, royalti, dan sejenisnya pada wajib pajak luar negeri.

6. Pajak Penghasilan Pasal 29

PPh kurang bayar yang tercantum dalam SPT Tahunan. Jadi, jumlah pajak terutang badan usaha dalam satu tahun lebih besar dari jumlah kredit pajak yang disetorkan.

7. Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 2 atau PPh Final

Pajak yang dikenakan dengan tarif dan dasar pengenaan pajak tertentu atas penghasilan yang diterima atau diperoleh selama tahun berjalan. Pajak ini dikenakan langsung saat wajib pajak menerima penghasilan dan langsung disetorkan.

Cara Membayar Pajak Penghasilan

Saat ini, ada dua cara membayar pajak penghasilan atau PPh, yaitu menyetornya secara langsung dan menyetor melalui online.

  1. Menyetor pajak penghasilan secara langsung

Untuk membayar pajak penghasilan, Anda harus mengunjungi loket pada bank Persepsi, Pos Persepsi, Bank devisa Persepsi, atau Bank Persepsi Mata Uang Asing. Anda akan mendapatkan Surat Setoran Pajak (SSP) atau dokumen administrasi lain yang disamakan dengan SSP. Isi seluruh formulir SSP untuk membayar pajak penghasilan. Selanjutnya, serahkan SSP beserta uang setoran pajak sesuai nominal yang tercantum. Setelah itu, Anda akan menerima kembali SSP yang berisikan informasi Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) dan Nomor Transaksi Bank (NTB)/Nomor Transaksi Pos (NTP). 

2. Membayar pajak penghasilan secara online

Selain mendatangi langsung Bank atau Kantor Pos Persepsi, Anda juga dapat membayar pajak secara online. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah merilis sistem pembayaran elektronik bernama e-Billing. Sistem ini membuat kode billing pajak pada aplikasi SSE pajak online. Sebelumnya, DJP telah merilis SSE atau Surat Setoran Elektronik sebagai pengganti SSP untuk kemudahan setor pajak.

Berikut ini tata cara membayar pajak penghasilan menggunakan e-Billing

  1. Masuk ke laman DJP Online
  2. Jika belum daftar, silakan daftar dan lengkapi identitas diri seperti NPWP, EFIN, dan Password.
  3. Verifikasi akun Anda
  4. Jika sudah, silakan login
  5. Pilih menu ‘e-Billing’
  6. Isi SSE, dan pilih Jenis Pajak serta Jenis Setoran
  7. Pilih Masa Pajak dan Tahun Pajak
  8. Masukkan Jumlah pajak yang akan dibayarkan.
  9. Klik ‘Simpan’, klik ‘Ya’ kalau sudah selesai, lalu klik ‘Ok’.
  10. Klik ‘Kode Billing’, lalu klik ‘Ok’
  11. Klik ‘Cetak Kode Billing’ untuk mengunduh PDF
  12. Selanjutnya, Anda dapat membayar Billing itu melalui mobile banking bank-bank tertentu, internet banking bank-bank tertentu, ATM, atau loket bank/kantor pos Persepsi.

Anda dapat menggunakan salah satu metode ini untuk membayar pajak penghasilan. Namun DJP telah merilis metode pembayaran pajak secara elektronik guna meningkatkan kenyamanan patuh pajak serta meningkatkan efektivitas pelayanan pada wajib pajak. Jadi, Anda dapat memenuhi kewajiban pajak dengan lebih mudah, serta menghindari kesalahan yang terjadi ketika membayar pajak secara manual. Di sisi lain, petugas pajak dapat bekerja lebih optimal untuk melayani wajib pajak.

Cara membayar pajak penghasilan secara online ini memang masih menimbulkan kebingungan pada beberapa orang, terutama bagi yang baru saja beralih dari metode manual ke elektronik. Jika mengalami hal yang sama, Anda dapat meminta bantuan jasa konsultasi pajak. Rusdiono Consulting dapat membantu Anda dalam mengelola pajak Anda, termasuk membayar dan melaporkan pajak pada Negara.

Batas Waktu Pembayaran Pajak Penghasilan

Perlu Anda ingat bahwa masing-masing jenis pajak memiliki batas waktu pembayaran yang berbeda-beda. Beda jenis pajak penghasilan, beda batas waktunya. 

PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 15, dan PPh Final yang dipungut oleh pemungut PPh harus disetor paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.

PPh Pasal 15 dan PPh Final yang harus disetorkan sendiri oleh wajib pajak, dan PPh 25, wajib dibayarkan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.

Itulah cara membayar pajak penghasilan yang perlu Anda ketahui. Sangat disarankan jika Anda membayar pajak secara online guna mempermudah proses kepatuhan pajak, menghindari resiko human error yang kerap terjadi saat membayar manual, juga menghemat waktu dan tenaga dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Selain itu, Anda dapat membayar pajak dari mana saja dan kapan saja, terutama ketika tengah berada dalam situasi pandemi virus Corona ini. 


April 29, 2020
3460-1280x854.jpg

Berapa besaran tarif PPh Badan 2019? Sebelum melapor SPT Tahunan PPh Badan, Anda harus tahu besaran tarif pajak penghasilan yang dikenakan serta cara penghitungannya dan cara menghitungnya. Karena itu, mari membahas selengkapnya di artikel ini. Simak baik-baik, ya!

Pengertian Pajak Penghasilan

Pajak penghasilan atau yang biasa disingkat PPh adalah pajak yang dikenakan pada wajib pajak atas penghasilan yang diterima dalam tahun pajak. Wajib pajak di sini adalah orang pribadi dan badan. Besaran tarif pajak penghasilan yang harus wajib pajak setorkan tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 pasal 17. Pada pasal tersebut, terdapat dua jenis tarif yang berbeda, yaitu untuk wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan untuk wajib pajak badan dalam negeri. Pada artikel ini, kami akan fokus membahas tarif PPh badan 2019.

Besaran Tarif PPh Badan 2019

Besaran tarif PPh badan untuk tahun pajak 2019 masih sama mengikuti aturan dalam UU Nomor 36 Tahun 2008. Mari menjabarkan poin-poin dalam undang-undang tersebut:

  • Pasal 17 ayat 1 huruf b, berbunyi: Tarif pajak yang diterapkan atas penghasilan kena pajak bagi wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28%.
  • Lalu pada ayat 2a, berbunyi: Tarif tersebut menjadi 25% yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.

Dalam kalimat sederhana, besaran tarif penghasilan pajak badan sejak tahun 2010 adalah sebesar 25% dari Penghasilan Kena Pajak dan masih berlaku sampai tahun pajak 2019.

Pada pasal 17 ayat 2b, wajib pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka dengan paling sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia, dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya, dapat memperoleh tarif sebesar 5% lebih rendah dari tarif yang dimaksud pada ayat 2a.

Penghitungan PPh Badan

Untuk menghitung besaran pajak penghasilan badan yang harus dibayarkan, terlebih dahulu Anda harus menemukan besaran penghasilan kena pajak perusahaan. Menurut Direktorat Jenderal Pajak, Anda wajib menyelenggarakan pembukuan untuk bisa mendapatkan besaran penghasilan kena pajak. 

Pertama, Anda perlu menghitung seluruh penghasilan yang perusahaan terima atau peroleh dalam satu tahun pajak. Dalam penghitungan ini, Anda tidak perlu memasukkan penghasilan yang bukan objek pajak dan penghasilan yang telah dikenakan PPh bersifat final.

Kemudian, kurangkan seluruh penghasilan tersebut dengan biaya-biaya yang perusahaan Anda keluarkan, termasuk biaya penyusutan dan amortisasi.

Sebelum mengalikan dengan tarif PPh, perhatikan biaya-biaya yang tidak dapat dikurangkan, seperti pembagian laba dividen, pembagian sisa hasil usaha koperasi, dan lainnya yang diatur dalam peraturan pajak.

Jika sudah menemukan besaran penghasilan kena pajak, rumus menghitung tarif PPh badan 2019 adalah:

Tarif PPh Badan=Penghasilan Kena Pajak x 25%

Contoh kasus:

Perusahaan Alfabet memiliki penghasilan kena pajak sebesar Rp12 Miliar, yang didapat setelah melakukan penghitungan, pembukuan, dan melakukan koreksi fiskal. Maka, besaran tarif PPh badan terutangnya adalah:

25% x Rp12.000.000.000= Rp3.000.000.000 

Maka, nominal PPh terutang perusahaan Alfabet adalah sebesar Rp3 Miliar.

Itulah besaran tarif PPh badan 2019. Jika Anda mengalami kesulitan untuk menghitung tarif pph badan, beserta penghasilan kena pajak perusahaan, Anda dapat berkonsultasi dengan konsultan pajak. Jasa konsultan pajak dapat membantu meringankan pekerjaan Anda dalam mengurus perpajakan perusahaan, mulai dari mempersiapkan laporan, melaporkan dan membayarkan pajak Anda pada Negara.  

Rusdiono Consulting dapat membantu Anda dalam menyiapkan laporan untuk SPT Tahunan Badan maupun urusan perpajakan lainnya. Tidak perlu lagi repot menghitung, melaporkan, dan membayar pajak Anda. Sebagai konsultan pajak yang berpengalaman, Rusdiono Consulting dapat mempermudah kewajiban perpajakan Anda.