Pajak Archives - RDN Consulting


No more posts

July 10, 2024
business-woman-hand-typing-laptop-keyboard-with-financial-cha-1.jpg

Pada era digitalisasi yang semakin meluas, Core Tax Administration System (CTAS) telah menjadi pusat perhatian dalam konteks administrasi perpajakan. CTAS merupakan sistem yang dirancang untuk membantu dalam aspek administrasi perpajakan. 

Mari kenalan lebih lanjut dengan CTAS, mulai dari definisi, tujuan pembuatannya, manfaat, fitur utama, jadwal implementasi, dan implikasinya dalam pengelolaan perpajakan. Simak penjelasan lengkapnya di bawah ini. 

 

Apa Itu Core Tax Administration System dalam Pajak?

Core Tax Administration System (CTAS) adalah sistem terpadu yang dirancang untuk mengelola semua aspek administrasi perpajakan secara efektif. Sistem ini mencakup pengumpulan data, pemrosesan informasi, penghitungan pajak, hingga pelaporan dan penagihan pajak. CTAS memanfaatkan teknologi informasi untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam pengelolaan pajak.

 

Mengapa CTAS Dibuat?

Pembuatan CTAS didorong oleh beberapa alasan utama, antara lain untuk meningkatkan akurasi dalam perhitungan pajak, mempercepat proses pengumpulan dan pemrosesan data, mengurangi kesempatan kecurangan pajak, serta meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak. Dengan CTAS, diharapkan pengelolaan perpajakan dapat lebih efisien dan responsif terhadap kebutuhan ekonomi dan sosial masyarakat.

 

Apa Saja Manfaat dari CTAS?

Implementasi CTAS memberikan berbagai manfaat signifikan, termasuk peningkatan kepatuhan pajak dari wajib pajak, pengurangan biaya administrasi perpajakan, penguatan kapasitas pengawasan oleh otoritas pajak, dan peningkatan transparansi dalam pengelolaan data pajak. 

  1. Peningkatan Kepatuhan Pajak: CTAS membantu meningkatkan kepatuhan pajak dari wajib pajak dengan mempermudah proses pelaporan dan pembayaran pajak serta meningkatkan transparansi data.
  2. Efisiensi Operasional: Sistem ini mengurangi waktu dan biaya dalam proses administrasi perpajakan dengan otomatisasi berbagai fungsi seperti pengumpulan data, pemrosesan informasi, dan pelaporan.
  3. Pengawasan yang Lebih Baik: CTAS memungkinkan otoritas pajak untuk melakukan pengawasan yang lebih efektif terhadap kepatuhan pajak dan mendeteksi potensi kecurangan dengan analisis data yang lebih mendalam.
  4. Penyediaan Informasi Real-Time: Sistem ini memberikan akses cepat dan real-time terhadap informasi terkait perpajakan, memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih tepat waktu dan akurat.
  5. Meningkatkan Layanan Publik: Dengan CTAS, pelayanan kepada wajib pajak dapat ditingkatkan melalui pengurangan waktu tanggapan terhadap pertanyaan atau permintaan informasi perpajakan.
  6. Pengurangan Potensi Kesalahan: Otomatisasi dalam CTAS mengurangi potensi kesalahan manusia dalam proses perhitungan dan pelaporan pajak, sehingga meningkatkan akurasi data.
  7. Mendukung Kebijakan Pajak: Sistem ini mendukung perencanaan kebijakan pajak dengan menyediakan data dan analisis yang diperlukan untuk evaluasi dan pengembangan kebijakan yang lebih efektif.
  8. Adaptasi Terhadap Perubahan Perpajakan: CTAS memungkinkan fleksibilitas dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan dalam kebijakan perpajakan, sehingga dapat memberikan respons yang cepat dan tepat.

 

Fitur-Fitur Utama CTAS

Apa saja fitur-fitur utama CTAS? Seperti yang sebelumnya sudah dijelaskan, CTAS merupakan sistem yang dirancang untuk mempermudah proses administrasi perpajakan. Oleh karena itu, fitur-fitur utama CTAS merupakan fitur yang berhubungan dengan administrasi pajak. Beberapa di antaranya sebagai berikut. 

  1. Layanan 3C (Click, Call, Counter), layanan ini membuat proses registrasi perpajakan tidak hanya dilakukan di loket, tetapi juga bisa melalui proses Click yang dilakukan melalui laman pajak.go.id, proses Call yang dilakukan dengan menghubungi Kring Pajak 1500 200, dan proses Counter dilakukan dengan datang langsung ke loket KPP/KP2KP.
  2. Peningkatan proses verifikasi yang memanfaatkan pihak ketiga supaya lebih akurat. 
  3. Integrasi data, CTAS memungkinkan integrasi data dari berbagai sumber, baik internal maupun eksternal, untuk memastikan konsistensi dan keakuratan informasi perpajakan.
  4. Tax Account Management (TAM), TAM mencakup proses pengumpulan, pemrosesan, dan pengelolaan data terkait akun pajak, serta memberikan fasilitas untuk memantau dan mengelola informasi kepatuhan pajak wajib pajak.

 

Kapan CTAS Diimplementasikan?

Jadwal implementasi CTAS biasanya melalui fase-fase yang terencana dengan matang. Setiap fase melibatkan pengujian, evaluasi, dan penyesuaian untuk memastikan keberhasilan penerapan sistem secara keseluruhan. Setelah melalui fase uji coba yang komprehensif, CTAS kemudian diluncurkan secara nasional untuk diterapkan secara luas di seluruh unit administrasi perpajakan.

Implementasi CTAS dijadwalkan akan dilaksanakan pada Juli 2024. Namun, dikarenakan adanya beberapa persiapan yang belum rangkum, dikabarkan kalau implementasi CTAS ini kemungkinan akan mengalami kemunduran hingga akhir tahun 2024. 

 

Kesimpulan

Dengan adanya Core Tax Administration System (CTAS), Indonesia memasuki era baru dalam pengelolaan perpajakan yang lebih modern dan efisien. Sistem ini tidak hanya mengubah cara otoritas pajak mengelola data dan informasi, tetapi juga memberikan manfaat signifikan dalam meningkatkan kepatuhan pajak, mengurangi biaya administrasi, dan meningkatkan layanan kepada wajib pajak.


July 9, 2024
medium-shot-delivery-man-talking-phone-1.jpg

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan salah satu jenis pajak yang dikenakan di Indonesia sebagai bagian dari sistem perpajakan. Dalam artikel ini, kita akan fokus untuk memahami PPN Jasa Luar Negeri, termasuk definisi, dasar hukum, contoh penerapan, cara menghitungnya, serta prosedur pelaporan dan pembayarannya.

 

Apa Itu PPN Jasa Luar Negeri?

PPN Jasa Luar Negeri adalah pajak yang dikenakan atas jasa yang diperoleh dari luar negeri oleh subjek pajak yang melakukan kegiatan usaha di dalam negeri. Jasa yang dimaksud meliputi berbagai layanan seperti konsultasi, teknis, manajerial, keuangan, dan sejenisnya yang diberikan oleh pihak luar negeri kepada subjek pajak di Indonesia. 

Tujuan dari penerapan PPN Jasa Luar Negeri adalah untuk mengenakan pajak atas konsumsi jasa yang diperoleh di Indonesia, sejalan dengan prinsip pemungutan PPN pada umumnya.

 

Dasar Hukum dari PPN Jasa Luar Negeri

Dasar hukum untuk PPN Jasa Luar Negeri terdapat dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang dan Jasa. Pasal 4 ayat (1) dari undang-undang tersebut menjelaskan hal-hal yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagai berikut: 

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas: 

  1. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha; 
  2. impor Barang Kena Pajak; 
  3. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha; 
  4. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; 
  5. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; 
  6. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; 
  7. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan 
  8. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

Kemudian, dalam pasal 4A ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang dan Jasa di sebutkan jasa-jasa yang tidak terkena PPN adalah sebagai berikut. 

Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut: 

  1. jasa pelayanan kesehatan medis; 
  2. jasa pelayanan sosial; 
  3. jasa pengiriman surat dengan perangko; 
  4. jasa keuangan; 
  5. jasa asuransi; 
  6. jasa keagamaan; 
  7. jasa pendidikan; 
  8. jasa kesenian dan hiburan; 
  9. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan; 
  10. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri; 
  11. jasa tenaga kerja; 
  12. jasa perhotelan; 
  13. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum; 
  14. jasa penyediaan tempat parkir;
  15. jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam; 
  16. jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan 
  17. jasa boga atau katering.

Lalu, dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang dan Jasa juga diatur besaran PPN yang dikenakan, yaitu: 

  • Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen). 
  • Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas: 
  • ekspor Barang Kena Pajak Berwujud; 
  • ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan 
  • ekspor Jasa Kena Pajak. 
  • Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

 

Contoh PPN Jasa Luar Negeri

Supaya kita semakin memahami seperti apa PPN Jasa Luar Negeri itu, berikut adalah contoh kasus PPN Jasa Luar Negeri. 

Sebuah perusahaan manufaktur di Indonesia mengontrak sebuah perusahaan konsultan manajemen dari luar negeri untuk memberikan konsultasi strategi pengembangan pasar global. Jasa konsultasi ini mencakup analisis pasar, penentuan strategi pemasaran internasional, serta pelatihan manajemen untuk staf senior perusahaan. Nilai kontrak konsultasi tersebut adalah USD 50,000.
Perhitungan PPN Jasa Luar Negeri:

  • Nilai Jasa = USD 50,000
  • Tarif PPN = 10%

Jadi, PPN yang harus dibayar oleh perusahaan manufaktur Indonesia adalah:

PPN = USD 50.000 × 10%

PPN = USD 5.000

Jumlah PPN yang harus dilaporkan dan dibayar oleh perusahaan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) adalah USD 5,000 atau setara dalam mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang berlaku pada saat transaksi tersebut.

 

Bagaimana Menghitung PPN Jasa Luar Negeri?

Seperti yang tertera dalam  pasal 7 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang dan Jasa, besaran PPN Jasa Luar Negeri yang dikenakan adalah sebesar 10%. 

Lalu, setelah kita mengetahui besaran persentase PPN Jasa Luar Negeri tersebut, bagaimana menghitung PPN Jasa Luar Negeri? Rumus menghitung PPN Jasa Luar Negerti adalah: 

PPN = Nilai Jasa x 10%

Maka, jika nilai jasa luar negeri yang dibayar adalah sebanyak USD 10.000, besaran PPN Jasa Luar Negeri yang dibayarkan adalah: 

PPN = USD 10.000 x 10%

PPN = USD 1000

 

Pelaporan dan Pembayaran PPN Jasa Luar Negeri

Prosedur pelaporan dan pembayaran PPN Jasa Luar Negeri dilakukan melalui mekanisme yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Subjek pajak wajib melaporkan jumlah PPN yang terutang dalam SPT Masa PPN dan melunasi pembayaran PPN sesuai dengan tenggat waktu yang ditentukan oleh peraturan perpajakan.

Baca Juga: Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai (PPN): Apa yang Perlu Diketahui?

Kesimpulan

PPN Jasa Luar Negeri adalah komponen penting dalam sistem perpajakan Indonesia untuk mengenakan pajak atas jasa-jasa yang diterima dari luar negeri dan digunakan di dalam negeri. Memahami dasar hukum, cara menghitung, serta prosedur pelaporan dan pembayaran PPN Jasa Luar Negeri sangat penting bagi subjek pajak dan pelaku usaha di Indonesia. Dengan mematuhi ketentuan perpajakan yang berlaku, diharapkan dapat mendukung kepatuhan pajak yang baik serta kontribusi positif terhadap perekonomian negara.


July 8, 2024
industrial-port-container-yard-1.jpg

Pajak Bea dan Cukai merupakan bagian penting dari sistem perpajakan di Indonesia. Dalam artikel ini, kita akan membahas secara mendalam mengenai konsep dasar pajak bea dan cukai, alasan mengapa kita harus membayarnya, jenis-jenis barang yang terkena pajak ini, serta bagaimana cara menghitungnya secara praktis.

 

Apa yang Dimaksud Pajak Bea dan Cukai?

Pajak Bea dan Cukai adalah jenis pajak yang dikenakan atas barang-barang tertentu yang masuk atau keluar dari wilayah pabean Indonesia. Istilah “bea masuk” digunakan untuk barang impor yang masuk ke dalam negeri, sedangkan “bea keluar” adalah pajak yang dikenakan terhadap barang ekspor dari Indonesia. Selain itu, terdapat juga “cukai” yang merupakan pajak khusus yang dikenakan terutama pada barang-barang tertentu yang berpotensi merugikan kesehatan atau lingkungan.

Fungsi utama dari pajak bea dan cukai adalah untuk mengatur arus barang impor dan ekspor, melindungi industri dalam negeri dari persaingan tidak sehat, serta mengendalikan konsumsi barang tertentu yang berdampak negatif bagi masyarakat.

 

Mengapa Kita Harus Membayar Pajak Bea Cukai?

Pembayaran pajak bea dan cukai sangat penting karena beberapa alasan. Pertama, dari segi ekonomi, pajak ini menjadi sumber penerimaan negara yang signifikan. Pendapatan dari pajak ini digunakan untuk membiayai berbagai program pembangunan dan pelayanan publik. 

Kedua, pajak bea dan cukai dapat melindungi industri dalam negeri dengan membuat barang-barang impor menjadi lebih mahal, sehingga barang-produk lokal memiliki keunggulan kompetitif. 

Terakhir, pengendalian konsumsi barang tertentu seperti alkohol, rokok, dan barang-barang mewah juga merupakan tujuan dari penerapan pajak ini, untuk membatasi dampak negatif dari konsumsi berlebihan terhadap masyarakat.

 

Barang-Barang yang Kena Pajak Bea Cukai

Berbagai jenis barang terkena pajak bea dan cukai, baik yang diimpor maupun yang diekspor. Kelompok barang-barang yang kena bea cukai dapat dibagi menjadi beberapa kategori utama berdasarkan jenisnya dan tujuan pengenaannya. Berikut adalah beberapa kelompok barang yang umumnya dikenakan bea cukai di Indonesia:

  1. Minuman Beralkohol dan Minuman Keras: Termasuk dalam kategori ini adalah bir, anggur, sake, dan minuman keras lainnya seperti whiskey, vodka, dan sejenisnya. Bea cukai dikenakan pada minuman ini untuk mengendalikan konsumsi alkohol di masyarakat serta sebagai sumber pendapatan bagi negara.
  2. Rokok dan Produk Tembakau: Produk-produk tembakau seperti rokok, cerutu, dan tembakau pipa dikenakan bea cukai yang tinggi. Tujuan utama pengenaan cukai pada tembakau adalah untuk mengurangi konsumsi rokok dan produk tembakau lainnya, serta untuk meningkatkan pendapatan negara.
  3. Kendaraan Bermotor: Mobil, sepeda motor, dan kendaraan bermotor lainnya yang diimpor ke Indonesia juga dikenakan bea masuk. Tarif bea masuk pada kendaraan bermotor dapat cukup tinggi, tergantung pada kapasitas mesin dan jenis kendaraan.
  4. Barang Mewah: Barang-barang mewah seperti perhiasan, barang-barang antik, dan barang-barang koleksi lainnya sering kali dikenakan bea cukai. Pengenaan bea cukai pada barang-barang mewah bertujuan untuk mengendalikan konsumsi dan sebagai salah satu sumber pendapatan negara.
  5. Parfum dan Kosmetik: Parfum, kosmetik, serta produk perawatan tubuh lainnya yang diimpor juga masuk dalam kategori barang yang dikenakan bea cukai. Tarif bea cukai untuk kosmetik dan parfum bisa bervariasi tergantung pada jenis dan merek produk.
  6. Elektronik dan Barang Konsumen: Barang-barang elektronik seperti laptop, smartphone, kamera digital, dan barang konsumen lainnya yang diimpor ke Indonesia juga dikenakan bea masuk. Tarifnya dapat berbeda-beda tergantung pada jenis barang dan kebijakan pemerintah.
  7. Senjata dan Amunisi: Senjata api, senjata tajam, serta amunisi juga termasuk dalam kelompok barang yang dikenakan bea cukai. Pengenaan bea cukai pada senjata dan amunisi bertujuan untuk mengendalikan distribusi dan penggunaan senjata di masyarakat.

Pengenaan bea cukai pada berbagai kelompok barang di atas tidak hanya bertujuan untuk mengendalikan konsumsi dan melindungi industri dalam negeri, tetapi juga sebagai sumber pendapatan penting bagi negara. Tarif bea cukai yang dikenakan biasanya diatur dan disesuaikan oleh pemerintah sesuai dengan kebijakan ekonomi dan fiskal yang berlaku.

 

Berapa Biaya Pajak Bea Cukai?

Tarif pajak bea dan cukai bervariasi tergantung pada jenis barang dan kebijakan pemerintah yang berlaku. Misalnya, untuk barang impor seperti mobil, tarifnya dapat mencapai puluhan persen dari nilai barang tersebut. Begitu juga dengan barang-barang mewah, tarif cukainya bisa cukup tinggi untuk mengendalikan konsumsi. Pemerintah juga menetapkan nilai minimal untuk dikenakan pajak, sehingga barang dengan nilai di bawah batas ini tidak akan dikenakan bea masuk atau cukai.

 

Bagaimana Cara Menghitung Pajak Bea Cukai?

Proses perhitungan pajak bea dan cukai melibatkan beberapa langkah. Pertama, identifikasi jenis barang dan klasifikasikan dalam tarif yang sesuai. Kedua, tentukan nilai pabean barang tersebut, termasuk biaya transportasi dan asuransi jika ada. Ketiga, terapkan tarif bea masuk atau cukai sesuai dengan peraturan yang berlaku. 

Contoh cara menghitung pajak bea cukai bisa disimak berikut ini. 

Seorang importir ingin mengimpor mobil dengan nilai pabean sebesar USD 20,000. Mobil impor umumnya dikenakan tarif bea masuk sebesar 30%. Maka, perhitungan bea cukainya sebagai berikut. 

Nilai Bea Masuk = Tarif Bea Masuk x Nilai Pabean

Nilai Bea Masuk = 30% x USD 20,000

Nilai Bea Masuk = 0.3 x 20,000 = USD 6,000

 

Jika kurs rupiah saat ini adalah Rp14.000, maka: 

 

Nilai Bea Masuk dalam Rupiah = USD 6,000 x Rp 14,000

Nilai Bea Masuk dalam Rupiah = Rp 84,000,000

 

Total biaya yang harus dibayar oleh importir adalah nilai pabean mobil (USD 20,000) ditambah dengan bea masuk (Rp 84,000,000). Maka: 

 

Total biaya impor = USD 20,000 + Rp 84,000,000 

Total biaya impor = Rp 280.000.000 + Rp 84,000,000

Total biaya impor = Rp 367.000.000

Baca Juga: Bea Cukai: Pengertian, Sejarah, dan Fungsi

Kesimpulan

Pajak Bea dan Cukai memiliki peran strategis dalam perekonomian Indonesia, tidak hanya sebagai sumber penerimaan negara, tetapi juga sebagai alat untuk melindungi industri dalam negeri dan mengatur konsumsi masyarakat terhadap barang-barang tertentu. 

Memahami jenis-jenis pajak ini, barang-barang yang terkena, beserta cara menghitungnya, penting untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi negara secara berkelanjutan. Dengan pengelolaan yang baik, pajak bea dan cukai dapat menjadi instrumen yang efektif dalam mencapai tujuan pembangunan nasional.


July 3, 2024
recha-oktaviani-h2aDKwigQeA-unsplash.webp

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan pada setiap tahap produksi dan distribusi barang dan jasa. PPN menjadi salah satu sumber pendapatan utama bagi negara dan memiliki dampak yang signifikan terhadap perekonomian. Dalam artikel ini, kita akan membahas karakteristik utama PPN yang perlu diketahui oleh setiap wajib pajak dan pelaku usaha.

 

Karakteristik Utama PPN

Dikutip dari Website Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, berikut adalah beberapa karakteristik utama PPN yang akan kita bahas secara mendetail:

1. Pajak Objektif

PPN adalah pajak objektif yang berarti pemungutannya didasarkan pada objek pajak tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak (WP) sebagai subjek pajak. Dengan kata lain, PPN dikenakan pada setiap transaksi barang dan jasa yang termasuk dalam kategori objek pajak, tanpa memandang siapa yang melakukan transaksi tersebut.

Contoh:

Misalnya, ketika Anda membeli barang di toko, PPN dikenakan pada transaksi tersebut terlepas dari apakah Anda seorang individu atau perusahaan. Ini memastikan bahwa semua konsumsi barang dan jasa dikenakan pajak secara merata.

 

2. Pajak Tidak Langsung

Secara ekonomis, beban PPN dapat dialihkan kepada pihak lain, tetapi kewajiban untuk memungut, menyetor, dan melapor PPN melekat pada pihak yang menyerahkan barang atau jasa. Ini berarti meskipun konsumen akhir yang menanggung beban pajak, penjual atau penyedia jasa bertanggung jawab untuk memungut dan menyetorkan PPN kepada pemerintah.

Contoh:

Ketika Anda membeli barang di toko, Anda membayar harga barang tersebut ditambah PPN. Penjual kemudian memungut PPN dari Anda dan menyetorkannya ke kas negara.

 

3. Multi Stage Tax

PPN dikenakan secara berjenjang dari pabrikan hingga konsumen akhir. Ini berarti setiap kali barang atau jasa berpindah tangan dalam rantai distribusi, PPN dikenakan dan dipungut pada setiap tahap.

Contoh:

Misalnya, ketika sebuah produk diproduksi, PPN dikenakan pada pembelian bahan baku oleh pabrikan. Ketika produk tersebut dijual ke distributor, distributor memungut PPN dari pabrikan. Begitu juga seterusnya hingga produk tersebut sampai ke tangan konsumen akhir.

 

4. Dipungut Menggunakan Faktur Pajak

Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang memungut PPN harus menerbitkan faktur pajak sebagai bukti pemungutan PPN. Faktur pajak ini berfungsi sebagai dokumen resmi yang mencatat jumlah PPN yang dipungut dalam setiap transaksi.

Contoh:

Ketika Anda membeli barang dari seorang PKP, mereka akan memberikan faktur pajak yang mencantumkan jumlah PPN yang Anda bayarkan sebagai bagian dari total harga barang.

Baca Juga: Mengenal Faktur Beserta Jenis, Komponen dan Fungsinya

 

5. Bersifat Netral

PPN dikenakan baik atas konsumsi barang maupun jasa, dan dipungut menggunakan prinsip tempat tujuan. Artinya, PPN dipungut di tempat barang atau jasa dikonsumsi, sehingga bersifat netral terhadap semua jenis konsumsi.

Contoh:

Baik Anda membeli barang fisik seperti elektronik atau jasa seperti perawatan kesehatan, keduanya akan dikenakan PPN dengan tarif yang sama, memastikan bahwa tidak ada bias dalam penerapan pajak.

 

6. Non-duplikasi

PPN memiliki mekanisme pengkreditan pajak masukan yang memastikan tidak terjadi duplikasi pajak. Pajak yang dibayar pada tahap pembelian barang atau jasa dapat dikreditkan dengan pajak yang dipungut pada penjualan berikutnya.

Contoh:

Jika Anda adalah seorang distributor yang membeli barang dari pabrikan, PPN yang Anda bayar pada pembelian dapat dikreditkan dengan PPN yang Anda pungut ketika menjual barang tersebut ke pengecer, sehingga hanya nilai tambah yang dikenakan pajak.

 

7. PPN terhadap Konsumsi dalam Negeri dan Ekspor

PPN terhadap konsumsi dalam negeri dikenakan sebesar 10%, sedangkan untuk ekspor dikenakan tarif 0%. Untuk ekspor, meskipun tarif PPN adalah 0%, transaksi ekspor tetap harus dilaporkan.

Contoh:

Jika sebuah perusahaan mengekspor barang ke luar negeri, mereka tidak perlu membayar PPN atas barang tersebut, tetapi tetap harus melaporkan transaksi ekspor tersebut kepada otoritas pajak.

 

Kesimpulan

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) memiliki beberapa karakteristik utama yang membuatnya unik dan efektif sebagai sumber pendapatan negara. Karakteristik seperti pajak objektif, pajak tidak langsung, multi stage tax, penggunaan faktur pajak, sifat netral, mekanisme non-duplikasi, serta tarif berbeda untuk konsumsi dalam negeri dan ekspor, semuanya berkontribusi pada efisiensi dan efektivitas penerapan PPN. Memahami karakteristik ini penting bagi wajib pajak dan pelaku usaha untuk memastikan kepatuhan pajak dan mengoptimalkan pengelolaan pajak dalam bisnis mereka.


July 2, 2024
kelly-sikkema-uiY1wM6wO14-unsplash.webp

Dalam sistem perpajakan Indonesia, setiap pembayaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak harus disertai dengan kode jenis setoran pajak yang tepat. Kode ini berfungsi untuk mengidentifikasi jenis pajak yang dibayar dan memastikan bahwa pembayaran tersebut tercatat dengan benar oleh otoritas pajak. 

Pajak sendiri terbagi ke dalam beberapa jenis, yaitu PPh (Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Bea Materai. Berikut adalah kode jenis setoran pajak untuk PPh, PPN, PBB, dan Bea Materai yang perlu Anda ketahui. 

 

Apa Itu Kode Jenis Setoran Pajak?

Kode jenis setoran pajak adalah serangkaian angka atau kode yang digunakan untuk mengidentifikasi jenis pajak yang dibayar oleh Wajib Pajak. Kode ini memainkan peran penting dalam sistem perpajakan karena membantu memastikan bahwa pembayaran pajak dicatat dengan benar dan sesuai dengan jenis pajak yang seharusnya dibayar.

Pentingnya kode jenis setoran pajak terletak pada efisiensi administrasi pajak. Dengan adanya kode ini, Direktorat Jenderal Pajak dapat mengelola dan memverifikasi pembayaran pajak dengan lebih efektif, sehingga mengurangi risiko kesalahan pencatatan dan meningkatkan kepatuhan pajak. Kode jenis setoran pajak juga membantu Wajib Pajak untuk memahami jenis pajak apa yang mereka bayarkan, sehingga mempermudah dalam proses administrasi dan pelaporan pajak.

Kode Jenis Setoran Pajak

Di Indonesia, terdapat berbagai jenis kode setoran pajak yang digunakan untuk mengidentifikasi berbagai jenis pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak. Kode-kode ini mencakup berbagai jenis pajak seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Bea Materai. Setiap jenis pajak memiliki kode setoran yang spesifik untuk memastikan bahwa pembayaran dicatat dengan benar sesuai dengan jenis pajak yang dibayarkan.

 

Kode Setoran Pajak untuk PPh

Pajak Penghasilan (PPh) adalah salah satu jenis pajak yang paling umum di Indonesia. Terdapat beberapa jenis kode setoran pajak yang berkaitan dengan PPh, di antaranya:

1. Kode Jenis Setoran Pajak PPh 21

Kode setoran untuk pajak yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan. Kode setoran untuk PPh 21 adalah 411121.

2. Kode Jenis Setoran Pajak PPh 23

Kode setoran untuk pajak yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, hadiah, penghargaan, dan sejenisnya yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri. Kode setoran untuk PPh 23 adalah 411124.

3. Kode Jenis Setoran Pajak PPh Final

Kode setoran untuk pajak yang dikenakan atas penghasilan tertentu yang bersifat final, artinya tidak dapat dikreditkan dengan pajak terutang lainnya. Beberapa contoh penghasilan yang dikenakan PPh Final adalah bunga deposito dan tabungan. Kode setoran untuk PPh Final adalah 411128.

 

Kode Setoran Pajak untuk PPN

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak. Beberapa kode setoran pajak yang terkait dengan PPN adalah:

1. PPN Dalam Negeri

Kode setoran untuk pajak yang dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak di dalam negeri. Kode setoran untuk PPN Dalam Negeri adalah 411211.

 

2. PPN Impor

Kode setoran untuk pajak yang dikenakan atas impor Barang Kena Pajak ke dalam daerah pabean. Kode setoran untuk PPN Impor adalah 411212.

 

Kode Setoran Pajak untuk PBB

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak yang dikenakan atas bumi dan/atau bangunan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994. Kode jenis setoran pajak untuk PBB adalah sebagai berikut:

1. PBB Sektor Perdesaan dan Perkotaan

Kode setoran untuk pajak yang dikenakan atas bumi dan bangunan yang berada di daerah perdesaan dan perkotaan. Kode setoran untuk PBB sektor ini adalah 411311.

2. PBB Sektor Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan

Kode setoran untuk pajak yang dikenakan atas bumi dan bangunan yang berada di sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Kode setoran untuk sektor ini adalah 411312.

 

Kode Setoran Pajak untuk Bea Meterai

Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yang menurut undang-undang harus dikenakan bea meterai. Beberapa situasi di mana bea meterai dikenakan termasuk dokumen perjanjian, kwitansi pembayaran, dan akta notaris. Kode jenis setoran pajak untuk bea meterai adalah 411614. 

 

Baca Juga: Surat Setoran Pajak (SSP), Pengertian dan Penggunaannya

 

Kesimpulan

Kode jenis setoran pajak memainkan peran penting dalam sistem perpajakan Indonesia. Kode ini membantu memastikan bahwa setiap pembayaran pajak dicatat dengan benar dan sesuai dengan jenis pajak yang seharusnya dibayar. 

Dengan memahami berbagai jenis kode setoran pajak yang berlaku, Wajib Pajak dapat melakukan pembayaran pajak dengan lebih efisien dan akurat. Kode jenis setoran pajak mencakup berbagai jenis pajak seperti PPh, PPN, PBB, dan Bea Materai, masing-masing dengan kode setoran yang spesifik. 

Pengetahuan tentang kode jenis setoran pajak ini sangat penting bagi Wajib Pajak untuk memastikan kepatuhan dan efisiensi dalam administrasi pajak.


July 1, 2024
scott-blake-x-ghf9LjrVg-unsplash.webp

Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan. 

Salah satu subjek PPh 21 yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah tenaga ahli. Hal ini dikarenakan dalam Peraturan DJP Nomor PER-16/PJ/2016 disebutkan bahwa tenaga ahli termasuk dalam kategori penerima penghasilan sehubungan dengan pekerjaan jasa dan bukan sebagai pegawai atau karyawan. 

Oleh karena itu, artikel ini akan membahas secara lengkap mengenai PPh 21 untuk tenaga ahli, termasuk definisi, tarif, perubahan tarif yang berlaku mulai tahun 2024, serta cara menghitungnya.

Apa itu PPh 21 Tenaga Ahli?

PPh 21 untuk tenaga ahli adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh tenaga ahli sehubungan dengan jasa yang mereka berikan. Tenaga ahli sendiri merupakan individu yang memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu yang diakui secara profesional, seperti dokter, pengacara, konsultan, dan lain-lain. Mereka biasanya memberikan jasa secara independen atau berdasarkan perjanjian tertentu dengan pemberi kerja.

 

Berapa Persen PPh 21 Tenaga Ahli?

Tarif PPh 21 tenaga ahli adalah sebesar 2,5% dari penghasilan bruto yang diterima. Penghasilan bruto adalah seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh tenaga ahli sebelum dikurangi dengan biaya-biaya atau pengurangan lainnya. Tarif ini berlaku untuk penghasilan yang diterima dalam bentuk uang maupun dalam bentuk natura atau kenikmatan lainnya yang dapat dinilai dengan uang.

Tarif PPh 21 tenaga ahli 2,5% ini merupakan tarif final, artinya pengenaan pajaknya sudah selesai pada saat pemotongan dilakukan oleh pemberi kerja atau pihak lain yang melakukan pembayaran. Dengan demikian, tenaga ahli tidak perlu lagi melaporkan penghasilan tersebut dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan.

 

Perubahan Tarif PPh 21 Tenaga Ahli Tahun 2024

Mulai tahun 2024, pemerintah akan memberlakukan perubahan tarif dan ketentuan PPh 21 untuk tenaga ahli. Perubahan ini bertujuan untuk menyederhanakan proses pemotongan pajak dan meningkatkan kepatuhan pajak. Salah satu perubahan penting adalah penyesuaian tarif PPh 21 tenaga ahli 2024 yang akan dinaikkan menjadi 3% dari penghasilan bruto.

Selain kenaikan tarif, perubahan lainnya termasuk penegasan mengenai jenis penghasilan yang termasuk dalam objek PPh 21 dan tata cara pelaporan pajak yang lebih terstruktur. Perubahan ini diharapkan dapat memberikan kejelasan bagi para pemberi kerja dan tenaga ahli dalam melaksanakan kewajiban perpajakan mereka.

Bagaimana Cara Perhitungan PPh 21 Tenaga Ahli?

Perhitungan PPh 21 untuk tenaga ahli dilakukan dengan cara mengalikan tarif pajak dengan penghasilan bruto yang diterima. Berikut ini adalah langkah-langkah perhitungannya:

  1. Menentukan Penghasilan Bruto: Hitung total penghasilan bruto yang diterima tenaga ahli dalam satu periode pajak. Penghasilan bruto mencakup semua jenis penghasilan yang diterima sehubungan dengan jasa yang diberikan.
  2. Menghitung PPh 21 yang Terutang: Kalikan penghasilan bruto dengan tarif PPh 21 yang berlaku. Misalnya, jika tarif yang berlaku adalah 2,5%, maka PPh 21 yang terutang adalah 2,5% dari penghasilan bruto.
  3. Pemotongan Pajak: Pemberi kerja atau pihak lain yang melakukan pembayaran wajib memotong PPh 21 yang terutang dan menyetorkannya ke kas negara.
  4. Pelaporan Pajak: Pemberi kerja atau pihak lain yang memotong pajak harus melaporkan pemotongan PPh 21 tersebut dalam laporan bulanan atau tahunan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Untuk memperjelas cara menghitung pph 21 tenaga ahli, berikut adalah contoh kasusnya:

Seorang konsultan menerima honorarium sebesar Rp 100.000.000 dalam satu bulan. Maka perhitungan PPh 21 yang terutang adalah sebagai berikut:

Penghasilan Bruto: Rp 100.000.000

Tarif PPh 21: 2,5%

PPh 21 yang Terutang: 2,5% x Rp 100.000.000 = Rp 2.500.000

Jadi, konsultan tersebut akan dikenakan PPh 21 sebesar Rp 2.500.000 yang harus dipotong dan disetorkan oleh pihak yang melakukan pembayaran honorarium.

Baca Juga: Tarif PPh Final Jasa Konstruksi dan Perhitungannya

Kesimpulan

PPh 21 untuk tenaga ahli merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh individu yang memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu. Tarif PPh 21 yang berlaku saat ini adalah 2,5% dari penghasilan bruto, namun mulai tahun 2024 tarif ini akan naik menjadi 3%. 

Perhitungan PPh 21 dilakukan dengan cara mengalikan tarif dengan penghasilan bruto, dan pemotongan pajak dilakukan oleh pemberi kerja atau pihak lain yang melakukan pembayaran. 

Dengan memahami ketentuan dan cara perhitungan PPh 21 ini, diharapkan para tenaga ahli dapat melaksanakan kewajiban perpajakan mereka dengan baik dan benar.


June 4, 2024
top-view-green-card-application-1.jpg

Pemadanan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah langkah penting dalam meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan di Indonesia. Proses ini tidak hanya bertujuan untuk mempermudah wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan, tetapi juga untuk memperkuat sistem pengawasan pajak oleh otoritas terkait. 

Artikel ini akan membahas apa itu pemadanan NIK NPWP, bagaimana cara melakukannya, cara mengetahui apakah NPWP sudah dipadankan dengan NIK, serta konsekuensi jika tidak melakukan pemadanan.

 

Apa itu Pemadanan NIK NPWP?

Pemadanan NIK NPWP adalah proses pengaitan data kependudukan yang terdapat dalam NIK dengan data perpajakan yang ada dalam NPWP. Tujuan utama dari pemadanan ini adalah untuk menciptakan basis data yang terintegrasi dan akurat antara data kependudukan dan data perpajakan. Dengan demikian, pemadanan ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas administrasi perpajakan.

Tentunya pemadanan NIK NPWP sendiri memiliki berbagai manfaat, baik untuk wajib pajak maupun untuk administratif pajak. Manfaat pemadanan NIK NPWP bagi Wajib Pajak adalah sebagai berikut. 

  • Kemudahan dalam Pelaporan Pajak: Dengan data yang terintegrasi, wajib pajak dapat lebih mudah melaporkan dan membayar pajak karena informasi pribadi mereka sudah tercatat dengan baik.
  • Menghindari Duplikasi Data: Pemadanan ini membantu menghindari terjadinya duplikasi data yang dapat menyebabkan masalah dalam administrasi perpajakan.
  • Akses ke Layanan Perpajakan yang Lebih Baik: Dengan data yang akurat, wajib pajak dapat menikmati layanan perpajakan yang lebih baik dan cepat.

Kemudian, manfaat pemadanan NIK dan NPWP bagi Administrasi Perpajakan:

  • Peningkatan Pengawasan Pajak: Otoritas pajak dapat lebih mudah mengawasi dan memverifikasi kepatuhan pajak karena data wajib pajak lebih lengkap dan akurat.
  • Efisiensi Administratif: Proses administrasi perpajakan menjadi lebih efisien dengan data yang terintegrasi antara NIK dan NPWP.
  • Pengurangan Potensi Penyalahgunaan: Dengan data yang terintegrasi, potensi penyalahgunaan atau kecurangan dalam perpajakan dapat diminimalisir.

 

Bagaimana Cara Melakukan Pemadanan NIK NPWP?

Setelah kita memahami apa itu pemadanan NIK NPWP, tujuan, dan manfaatnya, selanjutnya kita akan membahas tentang bagaimana cara melakukan pemadanan NIK NPWP tersebut. Untuk memadankan NIK dengan NPWP, wajib pajak perlu mengikuti beberapa langkah yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP):

  • Buka situs resmi DJP Online di alamat djponline.pajak.go.id lalu login dengan menggunakan NPWP dan kata sandi yang telah terdaftar.
  • Setelah berhasil login, pilih menu “Pemutakhiran Data” yang tersedia di halaman utama DJP Online.
  • Pilih sub-menu “Pemadanan NIK dengan NPWP”.
  • Masukkan NIK sesuai dengan yang tertera pada Kartu Tanda Penduduk (KTP). Pastikan data yang dimasukkan sudah benar dan sesuai dengan data yang ada di Disdukcapil.
  • Setelah itu, sistem akan memverifikasi data yang dimasukkan dengan data yang ada di Disdukcapil.
  • Jika data sudah sesuai, proses pemadanan akan berhasil dan NIK Anda akan terintegrasi dengan NPWP.
  • Setelah proses verifikasi selesai, Anda akan mendapatkan konfirmasi bahwa NIK sudah berhasil dipadankan dengan NPWP.
  • Simpan bukti pemadanan untuk referensi di masa mendatang.

 

Cara Mengetahui Apakah NPWP Sudah Dipadankan dengan NIK

Untuk memastikan apakah NPWP Anda sudah dipadankan dengan NIK, Anda dapat melakukan beberapa cara berikut. 

  • Login ke DJP Online menggunakan NPWP dan kata sandi Anda.
  • Pilih menu “Pemutakhiran Data” dan lihat status pemadanan NIK di halaman tersebut.
  • Jika sudah dipadankan, akan ada notifikasi atau tanda bahwa NIK Anda sudah terintegrasi dengan NPWP.

Selain melalui akun DJP Online, Anda juga bisa mengetahui apakah NPWP Anda sudah dipadankan dengan NIK dengan cara menghubungi Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Nantinya, petugas KPP akan akan membantu memverifikasi status pemadanan Anda. 

 

Apa yang Terjadi Jika Tidak Melakukan Pemadanan NIK NPWP?

Seperti yang sebelumnya sudah dijelaskan, pemadanan NIK dengan NPWP bertujuan untuk mengintegrasikan data kependudukan dengan data perpajakan. Namun, apa yang terjadi jika kita tidak melakukan pemadanan NIK NPWP ini?

Batas akhir pemadanan NIK NPWP adalah pada 30 Juni 2024. Dikutip dari artikel Tempo, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Direktorat Jenderal Pajak, Dwi Astuti mengatakan, jika ada masyarakat yang sampai tenggat waktu yang ditentukan belum memadankan NIK-NPWP, maka akan mengalami kesulitan. Apabila penerima penghasilan tidak memiliki NPWP, maka akan dikenakan tarif lebih tinggi 20 persen dari tarif normal.

Pengenaan tarif lebih tinggal 20% dari tarif normal dikarenakan masyarakat yang tidak melakukan pemadanan NIK NPWP dianggap tidak memiliki NPWP. Oleh karena itu, masyarakat tersebut akan dikenakan tarif PPh 21 yang lebih tinggi 20% dari tarif normal. 

Tak hanya itu, masyarakat yang tidak melakukan pemadanan NIK NPWP juga tidak bisa mengakses layanan perpajakan, seperti DJP Online, lapor dan bayar pajak, dan sebagainya. 

Baca Juga: Validasi NIK Gagal NIK Sudah Pernah Didaftarkan NPWP? Ini Solusinya!

 

Kesimpulan

Pemadanan NIK dengan NPWP adalah langkah penting untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas administrasi perpajakan di Indonesia. Proses ini memberikan banyak manfaat bagi wajib pajak, termasuk kemudahan dalam pelaporan pajak, penghindaran duplikasi data, dan akses ke layanan perpajakan yang lebih baik. Selain itu, pemadanan ini juga membantu otoritas pajak dalam meningkatkan pengawasan dan mengurangi potensi penyalahgunaan data perpajakan.


January 12, 2022
WhatsApp-Image-2022-01-09-at-10.12.14-AM.jpeg

NPPN atau Norma Penghitungan Penghasilan Neto merupakan instrumen yang dipakai untuk menyederhanakan penghitungan ketika mencari besar penghasilan neto. Berikut ulasan mengenai norma tersebut serta beberapa tips yang dapat mempermudah dalam mengetahui tarif norma penghitungan penghasilan neto.

Mengenal NPPN

Undang-undang pajak penghasilan telah mengatur terkait syarat penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Mereka yang diperkenankan menggunakan NPPN adalah Wajib Pajak perorangan atau pribadi dengan pendapatan di bawah 4,8 miliar rupiah per tahun dan penggunaan norma perlu diberitahukan ke kantor pajak. Badan usaha tidak termasuk yang bisa menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto karena Wajib Pajak badan diharuskan melakukan pembukuan meski omzetnya masih kurang dari 4,8 miliar rupiah.

Satu hal yang perlu diingat bahwa kendati Wajib Pajak perorangan dibolehkan  tidak menyelenggarakan pembukuan tetapi untuk pencatatan tetap harus dilakukan. Menurut UU KUP pasal 28 ayat (9), pencatatan berupa data-data yang secara teratur dikumpulkan terkait penerimaan atau peredaran bruto dan penghasilan bruto yang menjadi dasar penghitungan besar pajak terutang, meliputi penghasilan yang bukan objek pajak atau dikenai pajak yang sifatnya final.

Seperti sempat disinggung di atas, Wajib Pajak pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto harus memberitahukan pada Direktur Jenderal Pajak melalui KPP terdaftar maksimal tiga bulan dari awal Tahun Pajaknya atau bersamaan pelaporan SPT Tahunan. Jika Wajib pajak tidak memberitahukan pada KPP maka dianggap memilih untuk menyelenggarakan pembukuan.

Pekerjaan-pekerjaan yang memungkinkan untuk menghitung pajak penghasilannya menggunakan NPPN di antaranya:

  • Tenaga ahli seperti dokter, notaris, pengacara, arsitek, akuntan, dan pekerjaan bebas lainnya.
  • Olahragawan
  • Pemusik, penyanyi, aktor, penari, pelawak, bintang iklan, kru film, dan pekerjaan-pekerjaan di bidang seni lain.
  • Peneliti, pengarang, penerjemah.
  • Agen iklan, pengawas proyek, perantara, agen asuransi, pedagang.

Baca Juga: Ini Besaran Tarif PTKP 2020 dan Contoh Penghitungannya

Pengaplikasian Norma Penghitungan Penghasilan Neto

Setelah mengetahui dengan pasti apakah Anda termasuk pada kategori yang diperkenankan memakai Norma Penghitungan Penghasilan Neto, langkah selanjutnya adalah pengaplikasiannya. 

Salah satu rumus yang dapat digunakan untuk menghitung Norma Penghitungan Penghasilan Neto yaitu peredaran penghasilan bruto dikalikan tarif persentase NPPN.

Besaran NPPN berbeda-beda tergantung jenis Wajib Pajaknya dan berada di kelompok wilayah mana. Ada sejumlah tips untuk memudahkan mengetahui tarif Norma Penghitungan Penghasilan Neto, antara lain:

  • Lakukan pengecekan pada daftar norma dengan terlebih dahulu mencari klasifikasi lapangan usaha (KLU) yang sesuai SPT.
  • Kemudian cek apakah kelompok usahanya sudah sesuai.
  • Cari kolom tarif yang sesuai dengan tempat tinggal atau domisili. Kolom pertama diperuntukkan Wajib Pajak yang domisilinya di sepuluh ibukota provinsi yakni Bandung, Jakarta, Semarang, Denpasar, Surabaya, Palembang, Medan, Makassar, Manado, dan Pontianak. Kolom-kolom berikutnya bagi Wajib Pajak yang berdomisili di ibukota provinsi selain yang sepuluh tadi.  

Baca Juga: Cara Mengetahui Kode KLU Pajak sesuai Jenis Usaha Anda

 

Sebagian masyarakat merasa kesulitan menghitung penghasilan neto, terlebih masalah pajaknya. Sebenarnya tidak serumit itu jika mengetahui cara  melakukan penghitungan penghasilan neto menggunakan NPPN.


November 24, 2021
WhatsApp-Image-2021-11-20-at-2.40.21-PM.jpeg

Salah satu faktor kenapa banyak Warga Negara di dunia sering menghindari pajak adalah minimnya literasi perpajakan itu sendiri. Mereka kurang memahami fungsi dan manfaat pajak.

Padahal, jika melihat dari sisi fungsi dan manfaat, pajak memiliki peran besar terhadap apa yang Anda rasakan dan nikmati saat ini.

Seperti adanya jalan raya yang Anda nikmati, pekerjaan yang Anda nikmati, hingga fasilitas lainnya yang mutlak nikmati seperti tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan.

Melalui artikel ini, Rusdiono Consulting mencoba menjelaskan 4 fungsi pajak dan manfaat ketika Anda membayar pajak.

Sekilas Tentang Apa itu Pajak

Secara sederhana pajak adalah kontribusi wajib yang diberlakukan kepada masyarakat yang diberikan kepada negara sebagai sumber pemasukan negara.

Tidak ada informasi pasti mengenai kapan pertama kali pajak berlaku di dunia. Namun sejarah pajak dunia diperkirakan hadir pada 3000 tahun Sebelum Masehi.

Dimana pada saat itu, pajak masih berupa hasil pertanian, hewan ternak, pertambangan, dan budak yang diserahkan kepada kuil atau kerajaan.

Di Indonesia sendiri, pajak dikenal oleh masyarakat pertama kali ketika ada penjajahan bangsa Eropa. 

Pada saat itu masyarakat diwajibkan untuk membayar upeti kepada raja atau tuan tanah sebagai imbalan atas jaminan keamanan dan ketertiban daerah.

Di era modern saat ini, pajak merupakan sumber utama dan terpenting dari penerimaan negara di seluruh belahan dunia.

Pajak diperoleh dari masyarakat di negara tersebut dan bersifat memaksa dan sukarela.

Memaksa berarti pemungutan pajak bersifat wajib untuk membayar dan memiliki konsekuensi apabila tidak patuh membayar.

Sedangkan sukarela, berarti Wajib Pajak dapat memilih bagaimana Mereka membayar pajak sesuai dengan kondisinya.

Landasan Hukum Pajak di Indonesia

Di Indonesia, pajak dikelola oleh Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak.

Sebagai landasan hukum, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Namun belakangan pemerintah melakukan beberapa revisi dan tambahan atau UU KUP melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang sudah disahkan pada tanggal 7 Oktober 2021 dan akan berlaku secara penuh di bulan Januari 2022.

Pemerintah mengartikan pajak adalah sebagai kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh Orang Pribadi atau Badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang.

Dimana pajak tersebut merupakan imbalan atau manfaat secara tidak langsung yang diperoleh masyarakat dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran.

Selain UU KUP, aturan perpajakan di Indonesia dibagi ke dalam Undang-Undang lain seperti UU No.36/2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atau UU No.42/2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

4 Fungsi dan Manfaat Pajak

Sebagai sumber utama pendapatan negara, pajak memiliki 4 fungsi umum yaitu sebagai berikut:

  1. Fungsi anggaran yaitu pajak berperan sebagai sumber anggaran atau tabungan dalam melaksanakan program pembangunan yang dilakukan oleh negara melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Misalnya pembangunan fasilitas kesehatan, transportasi, dan pendidikan.
  2. Fungsi mengatur yaitu pajak berperan sebagai alat untuk mencapai tujuan negara. Misalnya tercapainya pertumbuhan ekonomi negara. Contoh: Berlakunya PP 23/2008 tentang tarif PPh final.
  3. Fungsi stabilitas yaitu pajak berperan sebagai penyeimbang situasi ekonomi negara. Misalnya, Semakin banyak penerimaan negara, maka semakin stabil perekonomian negara. Semakin stabil perekonomian maka tingkat inflasi menjadi rendah. Inflasi yang rendah mampu meningkatkan roda perekonomian masyarakat.
  4. Fungsi redistribusi pendapatan yaitu pajak berfungsi sebagai alat untuk memakmurkan masyarakat. Misalnya, kesempatan wirausaha atau bertambahnya lapangan pekerjaan.

Dari keempat poin tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki manfaat baik bagi negara maupun masyarakat itu sendiri. 

Secara sederhana, jika mengacu pada keempat fungsi pajak tersebut, maka didapat beberapa manfaat pajak bagi negara sebagai berikut:

  • Pajak memiliki manfaat bagi negara untuk membiayai anggaran belanja negara.
  • Pajak memiliki manfaat untuk membiayai pengeluaran reproduktif yang berdampak langsung pada masyarakat. Misalnya, subsidi usaha atau program pengairan sawah.
  • Pajak bermanfaat untuk membiayai pengeluaran yang bersifat tidak self-liquiditing. Misalnya objek rekreasi.
  • Pajak bermanfaat dalam membiayai pengeluaran tidak produktif seperti infrastruktur, pertanahan, lingkungan hidup, budaya, pemilu, atau keamanan negara.

Sedangkan dari sisi masyarakat, pajak memiliki manfaat berikut:

  • Masyarakat mampu menikmati kemudahan dalam berusaha. Program pembangunan usaha yang dilakukan pemerintah melalui pajak juga hanya bisa dinikmati oleh pengusaha yang membayar pajak.
  • Masyarakat mampu melakukan segala aktivitas dengan mudah. Kepemilikan NPWP biasanya menjadi syarat tertentu dalam melakukan aktivitas tertentu. Pinjaman misalnya.
  • Masyarakat memiliki peluang yang besar untuk berkembang melalui pendidikan dan ketersediaan lapangan kerja dan usaha.
  • Bagi perusahaan, kewajiban pajak mampu mempermudah perusahaan dalam mengembangkan usahanya.
  • Melindungi masyarakat dari produksi luar negeri agar bisa lebih bersaing di dalam negeri. Misalnya pemberlakuan pajak impor atau barang mewah.
  • Masyarakat dapat menikmati kebijakan pemerintah dalam kondisi genting. Misalnya subsidi atau bantuan sosial.

Itu lah pengertian pajak serta fungsi dan manfaat pajak. Mengingat pentingnya pajak sebagai sumber pendapatan negara dan dampaknya secara tidak langsung bagi masyarakat, kewajiban perpajakan harus menjadi perhatian khusus.

Taat melakukan aktivitas perpajakn secara tidak langsung membantu pemerintah dalam mengelola program pembangunan.

Secara tidak langsung pula, masyarakat bisa menikmati berbagai program dan fasilitas yang diberikan pemerintah yang salah satu sumber pendapatannya berasal dari pajak.


November 22, 2021
ExzMvfqVEAENKwt.jpg

Salah satu aktivitas perpajakan yang memiliki traffic paling tinggi adalah saat melaporkan atau mengisi SPT pajak. Namun dalam prakteknya, Anda sering kali dihadapi dengan kode-kode error salah satunya “Aktivasi WP NE Tidak Berhasil”

Sebagai Wajib Pajak, setiap tahunnya Anda diwajibkan untuk melakukan pelaporan SPT Pajak yang batas pelaporannya tiap tanggal 31 Maret yang dapat Anda lakukan melalui portal DJP Online.

Tidak seperti pengisian SPT secara manual, pengisian SPT melalui e-filing sering kali menemui kode-kode eror yang cukup membingungkan.

Agar Anda tidak bingung lagi, berikut kode-kode eror dari penyebab hingga solusinya termasuk kode error Aktivasi WP NE Tidak berhasil.

 

Aktivasi WP NE Tidak Berhasil dan Kode Error Lain Saat Submit SPT

Menurut Direktorat Jenderal Pajak, kode aktivasi WP NE Tidak berhasil terjadi karena sistem yang tidak bisa membaca atau gagal mengaktivasi Wajib Pajak Non Efektif atau WP NE.

Solusinya, Anda bisa mengulangi kembali proses tersebut atau bisa mengganti mode browser Anda dengan mode private.

Jika masih tidak bisa, Anda bisa menghubungi Kring Pajak atau kanal informasi KPP terdaftar terkait masalah “Aktivasi WP NE Tidak Berhasil” tersebut.

Selain kode error aktivasi WP NE Tidak Berhasil, ada beberapa kode error lainnya yang bisa saja Anda temui saat melakukan submit SPT yang telah diisi melalui e-filing. Apa saja itu?

 

Kode Error Penyebab Solusi
Request Token Tidak Berhasil, silahkan ulangi kembali atau periksa data SPT Anda Toket tidak terkirim ke email
  1. Cek isian data kembali
  2. Cek email yang digunakan pada aplikasi DJP Online
BPS Sudah Ada Anda telah mengirimkan SPT yang sudah pernah disampaikan ke DJP Pastikan SPT yang Anda kirim merupakan SPT masa terlapor yang belum pernah dikirim
BPS Sebelumnya Belum Ada Anda tidak mengirimkan SPT tidak sesuai dengan urutan status pembetulan Untuk pertama kali pengisian, Anda harus mengirim SPT dengan status normal atau pembetulan 0
Invalid Token Biasanya terjadi apabila Anda tidak logout saat terakhir menggunakan aplikasi Tunggu beberapa saat, kemudian login kembali atau hubungi Kring Pajak jika tetap tidak bisa
Token Tidak Sesuai Melakukan permintaan token berulang sehingga sistem kesulitan membaca data atau token yang digunakan bukan token terakhir Mengecek email untuk melihat token terakhir yang dikirim atau jika hilang, Anda bisa mengajukan token kembali.
Data Arsip SPT/Kirim SPT Tidak Muncul Data yang diisi tidak benar atau bersifat null Perhatikan kembali isian atau bisa menghubungi Kring Pajak

 

Baca Juga: Mau Lapor Pajak tapi DJP Online Error? Ketahui Penyebabnya di Sini!

 

Kode Error saat Buat dan Simpan SPT pada e-Filing yang Perlu Anda Tahu

Jika sebelumnya merupakan kode aktivasi wp ne tidak berhasil dan kode error lainnya terkait submit SPT, Anda juga kemungkinan akan menemukan kode error ketika membuat dan menyimpan SPT pada sistem e-filing.

Untuk kode error saat Pembuatan atau mengisi SPT adalah sebagai berikut.

Kode Error Penyebab Solusi
ERROR 405 Anda tidak berhak mengisi SPT karena status NPWPnya Hubungi account representative di KPP terdaftar dan tanyakan status NPWP Anda
NTPN Tidak Valid, Pastikan Tidak Ada Kesalahan Pengisian atau Hubungi KPP Terdaftar Pengisian NTPN tidak sesuai dengan item Perhatikan setiap karakter pada NTPN atau kode jenis setor dan MAP harus sesuai
Nomor Pemindahbukuan Tidak Valid….. Pengisian Nomor Pemindahbukuan tidak sesuai dengan item Perhatikan kembali setiap karakter pada nomor
Jenis Pembayaran Tidak Dipilih Anda lupa atau tidak memilih memenuhi Kurang Bayar secara NTPN atau Pbk Memilih dulu data yang diisi, NTPN atau Pbk
Jumlah Penghasilan bruto (Penjumlahan angka 1, 9, dan 10) Lebih dari Rp60.000.000 salah pengisian pada jenis penghasilan bruto Pilih kategori SPT tahunan Orang Pribadi 1770 atau 1770S
NPWP Tidak Ditemukan saat menginput Bukti Potong (SPT 1770S Lampiran 1-C) NPWP yang dimasukkan pada bagian Bukti Potong tidak ada di dalam sistem Cek kembali NPWP pemotong
WP Tidak Lengkap Salah mengisi NPWP
ERROR 302 Koneksi terputus atau sesi pengisian dianggap berakhir oleh sistem login kembali atau apabila isian SPT memakan waktu, Anda bisa menggunakan e-form
Tidak Dapat Masuk ke Halaman e-Filing Data seperti nomor telepon pada profil WP belum terisi atau role e-filing belum ada Melakukan pembaruan profil DJP Online atau hubungi Kring Pajak
CSV Gagal Decrypt CSV corrupt atau terdapat karakter yang tidak bisa diterima database Membuat ulang CSV

 

Sedangkan untuk kode error saat menyimpan SPT adalah sebagai berikut:

    • SPT Tahunan Anda Tidak Lengkap: Nihil berarti Wajib Pajak (WP) tidak mengisi data bukti potong dari pemberi kerja, tidak mengisi harta dengan lengkap, atau salah isi data pada kolom kode harta dan utang.
    • SPT Tahunan Anda Tidak Lengkap: Kurang Bayar berarti WP lupa mengisi tanggal pelunasan. Selain itu bisa juga belum melakukan pembayaran atau sudah bayar tapi nominal pembayaran kurang dari nominal kurang bayar. 

 

  • Processing terus menerus berarti data isian SPT belum lengkap. Perhatikan dengan cermat tiap kolom harta dan utang.

 

Itulah beberapa kode error termasuk aktivasi WP NE Tidak berhasil. Jadilah Wajib Pajak yang taat melaporkan pajaknya.

Terlebih saat ini DJP sudah memiliki layanan online yang mampu mempermudah proses pelaporan pajak.