Laporan Keuangan Archives - Page 2 of 2 - RDN Consulting


No more posts

August 2, 2021
WhatsApp-Image-2021-08-01-at-5.08.03-PM.jpeg

Aset atau barang yang dimiliki oleh perusahaan pasti akan mengalami penurunan nilai ekonomis atau penyusutan yang nantinya dianalisis melalui nilai residu.

Nilai ekonomis yang dimaksud adalah nilai manfaat dari suatu barang. Misalnya, sebuah mesin produksi tidak mungkin akan berada pada kondisi yang sama dari tahun ke tahunnya.

Penurunan kondisi ini akan memengaruhi langsung fungsi dan nilai manfaat dari mesin itu sendiri. Mau tidak mau, Anda perlu mengeluarkan biaya untuk merawat atau bahkan menggantinya.

Nilai residu nantinya berguna bagi Anda yang ingin menentukan arah operasional melalui nilai ekonomis suatu aktiva yang telah dimanfaatkan.

Pengertian dan Peran Nilai Residu dalam Bisnis

Seperti yang Anda telah ketahui, sebuah aset yang digunakan untuk operasional bisnis akan mengalami penyusutan.

Penyusutan yang dimaksud adalah penurunan nilai ekonomis. Contoh, mesin sablon yang Anda gunakan, tiap tahun atau tiap periode tertentu pasti akan mengalami “penurunan fungsi”.

Entah itu risiko kerusakan karena sering digunakan atau bahkan jarang digunakan, Anda pasti akan mengupayakan bagaimana agar mesin sablon tersebut tetap berfungsi. 

Dengan cara apa? Merawatnya atau jika sudah mengalami kerusakan, Anda mau tidak mau harus menggantinya, kan?

Nah, keputusan tersebut akan sangat bergantung dengan besaran biaya penyusutan yang berpengaruh pada aset usaha Anda, dalam hal ini mesin sablon tadi misalnya.

Tentu juga hal tersebut akan memengaruhi laba perusahaan Anda baik secara langsung maupun tidak langsung

Alasannya, karena biaya penyusutan nantinya akan dimasukkan ke dalam item beban atau pengeluaran dalam laporan keuangan.

Besar kecilnya sebuah biaya penyusutan ini selain dipengaruhi masa ekonomis dan harga ketika Anda membeli aset tersebut, juga dipengaruhi oleh nilai residu.

Jadi, Apa itu Nilai Residu?

Dari penjelasan di atas, sebenarnya Anda mungkin sudah memahami ya apa itu nilai residu.

Jadi mari mulai ke intinya, apa itu nilai residu? Mari ambil dari dua definisi yang ada.

Nilai residu atau yang lebih dikenal dengan salvage value adalah estimasi atau perhitungan sebuah nilai buku aset setelah penyusutan.

Perhitungan nilai residu ini biasanya berguna bagi pebisnis agar aset yang dimiliki dapat memberikan imbalan atau nilai bagi pebisnis di akhir nilai manfaat aset tersebut.

Tidak jauh berbeda, menurut PSAK 16 (2011:16.3), nilai residu merupakan jumlah atas estimasi yang dapat diperoleh entitas bisnis (pebisnis) saat ini dari pelepasan aset.

Aset tersebut nantinya dikurangi estimasi biaya pelepasan (penyusutan), jika aset tersebut telah mencapai umur dan kondisi yang diharapkan pada akhir masa manfaatnya.

Metode Cara Menghitung Nilai Residu

Tidak ada rumus atau cara pasti untuk menentukan nilai residu karena sebenarnya nilai ini merupakan estimasi atau perkiraan nilai jual atau manfaat lainnya ketika barang tersebut berada pada akhir masa manfaat atau sudah tidak digunakan lagi.

Contoh, Anda pengusaha kontraktor yang akan menjual crane bekas seharga Rp100.000.000. Maka nilai Rp100.000.000 itu lah yang dinamakan nilai residu.

Padahal, 5 tahun lalu Anda dulu membeli crane tersebut seharga Rp250.000.000. Berarti biaya penyusutan crane adalah pengurangan antara harga beli dengan nilai residu yaitu Rp100.000.000.

Karena digunakan selama 5 tahun, berarti nilai penyusutan tiap tahunnya sebesar Rp20.000.000.

Contoh tersebut merupakan contoh sederhana atau metode garis linier (straight line) Dimana nilai residu merupakan faktor pengurang dari harga aset saat dibeli untuk mencari biaya penyusutan.

Biasanya, ketika nilai penyusutannya rendah, maka aset tersebut masih memiliki manfaat atau ketika proses penyusutannya itu berlangsung lama, maka Anda bisa mengoptimalkan aset tersebut.

Selain metode straight line atau garis lurus, ada juga beberapa metode yang bisa Anda gunakan yaitu sebagai berikut.

Metode Jumlah Angka Tahunan  (Sum of Year Digit Method)

Metode ini digunakan apabila Anda memiliki aset yang setiap tahunnya pasti mengalami risiko penurunan fungsi.

Karena adanya risiko tersebut, maka nilai penyusutan ini digunakan untuk menentukan biaya maintenance atau perbaikan tiap tahunnya.

Dengan kata lain, apabila nilai penyusutan pada periode berikutnya semakin berkurang, maka biaya maintenance yang harus dikeluarkan semakin meningkat.

Sama halnya dengan metode straight line, metode ini juga lebih efektif jika Anda memasukkan nilai residu sebagai faktor pengurang harga beli atau perolehan aset.

Adapun rumus dari metode ini adalah sebagai berikut.

Biaya Penyusutan = 

(Harga Perolehan Aset – Harga Residu) x Sisa umur penggunaan aset (n) / Penyebut Jumlah Angka Tahunan (n+(n-1)+(n-2)+….)

Penyebut Jumlah angka Tahunan adalah jumlah perhitungan dari sisa umur penggunaan aset. Contoh, jika umur sisa aset adalah 4 tahun maka Penyebut Jumlah Angka Tahunan adalah 4 + 3 + 2 + 1 = 10.

Karena disebut sebagai sisa umur, maka urutan pembilang pada perhitungan tahun pertama dibalik. Misal, tahun ke-1 pembilangnya adalah 4/10, tahun ke-2 adalah 3/10 dan seterusnya.

Contoh soal:

Pada 10 Januari 2021, Anda baru saja membeli mesin seharga Rp100.000.000 dengan nilai residu sebesar Rp40.000.000.

Menurut penjualnya, mesin tersebut hanya bisa beroperasi hingga 3 tahun. Berapa biaya penyusutannya?

Pertama, kita tentukan dulu penyebut jumlah angka tahunnya. Karena hanya bisa beroperasi selama 3 tahun maka penyebutnya yaitu: 3 + 2 + 1 = 6.

Kemudian hitung dasar penyusutannya dengan mengurangi harga beli aset dengan nilai residu yaitu:

= Rp100.000.000 – Rp40.000.000 = Rp60.000.000

Maka dari sini, Anda bisa melihat nilai penyusutan akhir di tiap tahun sisa pemakaian asetnya melalui perhitungan berikut:

Tahun ke Faktor Perhitungan Dasar penyusutan Nilai Penyusutan tiap Tahunnya
1 3/6

Rp60.000.000

Rp30.000.000
2 2/6 Rp20.000.000
3 1/6 Rp10.000.000

 

Nah, jika dilihat dari tabel, maka tiap tahunnya biaya penyusutan semakin kecil. Dengan kata lain, maka perusahaan wajib menambah biaya maintenance atau bahkan mengalokasikan dananya untuk membeli mesin baru.

Meski begitu, metode ini sangat jarang digunakan karena alasan pembukuan dalam perpajakan.

Metode Satuan Jam kerja (Service Hour Method)

Metode ini digunakan untuk membandingkan nilai penyusutan satu jenis aset yang sama dengan jumlah jam yang digunakan.

Seperti yang Anda tahu, dalam beberapa kasus perusahaan biasanya memiliki satu jenis aset yang sama namun frekuensi penggunaannya berbeda-beda.

Misal, Anda memiliki dua mesin packaging, pada tahun-tahun tertentu, salah satu mesin pasti jarang digunakan.

Nah, perbedaan jam kerja ini yang menjadi dasar perhitungan menggunakan metode satuan jam kerja.

Adapun rumusnya adalah sebagai berikut.

Biaya Penyusutan/Jam = Harga Beli atau Perolehan Aset – Nilai Residu / Jumlah Jam Kerja selama Umur Ekonomis

Kemudian, untuk mencari nilai penyusutan pada tiap periode maka rumusnya adalah:

Jumlah Jam Kerja per Periode x Tarif Penyusutan / Jam

Untuk lebih memahami metode ini, simak contoh soal berikut:

Anda di bulan Januari membeli sebuah mesin cetak seharga Rp10.000.000. 

Menurut penjual, mesin tersebut dapat bekerja selama 10.000 jam dan diperkirakan mampu bekerja 5.000 jam pada tahun pertama.

Di tahun berikutnya, mampu bekerja 4000 jam, dan tahun berikutnya 1000 jam setahun.

Berdasarkan riset yang Anda lakukan, mesin tersebut dapat dijual kembali (nilai residu) dengan harga Rp1.000.000.

Pertama cari dahulu biaya penyusutan per jamnya yaitu:

= Rp10.000.000 – Rp1.000.000 / 10.000 =  900

Maka nilai penyusutannya dapat dilihat melalui tabel berikut.

Tahun ke Jam Operasi Biaya penyusutan/jam Penyusutan Nilai Buku
1 5000 900 Rp4.500.000 (Rp10.000.000 – Rp4.500.000)

= Rp5.500.000

2 4000 900 Rp3.600.000 (Rp5.500.000 – Rp3.600.000)

= Rp1.900.000

3 1000 900 Rp900.000 (Rp1.900.000 – Rp900.000)

= Rp1.000.000

 

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa semakin lama sebuah aset digunakan dalam hitungan jam kerja, maka semakin besar pula nilai penyusutannya dan akan semakin berkurang tiap tahunnya.

Metode Hasil Produksi (Productive Output Method)

Metode lainnya adalah perhitungan berdasarkan kemampuan aset dalam memproduksi.

Dengan kata lain seberapa lama pun waktu penggunaannya, tetap yang menjadi faktor penghitungnya adalah kemampuan aset tersebut dalam memproduksi.

Adapun rumus metode ini adalah sebagai berikut:

Tarif Penyusutan Per Unit =  Harga Perolehan Aset – Nilai Residu / Jumlah Total Produk yang Mampu Dihasilkan

Sedangkan untuk mencari nilai penyusutan tiap periodenya adalah:

= Kemampuan Unit Mampu Berproduksi Tiap Periodenya x Tarif Penyusutan Per Unit

Misal, Anda membeli mesin printer 3D seharga Rp100.000.000 dengan nilai jual kembali setelah 5 tahun adalah Rp50.000.000.

Kemudian Anda memproyeksikan dalam lima tahun ke depan bisa memproduksi 1.000 unit cetakan. Dengan rincian sebagai berikut:

  • Tahun ke-1 = 300 unit
  • Tahun ke-2 = 300 unit
  • Tahun ke-3 = 200 unit
  • Tahun ke-4 = 150 unit
  • Tahun ke-5 = 50 unit

:Langkah pertama, Anda hitung terlebih dahulu tarif penyusutan per unitnya yaitu:

  • Rp100.000.000 – Rp50.000.000 / 1.000 unit. = Rp50.000

Maka tarif penyusutan tiap tahunnya dapat digambarkan melalui tabel berikut.

Tahun ke Unit Produksi Biaya Penyusutan per Unit Penyusutan
1 300 50.000 Rp15.000.000
2 300 50.000 Rp15.000..000
3 200 50.000 Rp10.000.000
4 150 50.000 Rp7.500.000
5 50 50.000 Rp2.500.000

 

Nah itulah penjelasan mengenai nilai residu, cara menentukan nilai residu, cara menghitung penyusutan menggunakan nilai residu, serta contoh kasus perhitungannya.

Dengan mengetahui perhitungan penyusutan dan nilai residu, Anda mampu memaksimalkan laba perusahaan berdasarkan penggunaan aset operasional. 

Semoga artikel ini memberikan manfaat, dan apabila Anda kesulitan dalam mengelola bisnis, Anda bisa menghubungi Kami, Rusdiono Consulting.


July 29, 2021
WhatsApp-Image-2021-07-25-at-5.02.39-PM.jpeg

Istilah pemindahbukuan atau (Pbk) dalam kasus pajak sering kali dikaitkan dengan sistem self-assessment perpajakan.

Hal ini karena self-assessment adalah sistem dimana Wajib Pajak diperkenankan untuk menghitung dan menyetorkan sendiri pajak terutangnya.

Karena dilakukan sendiri, sering kali terdapat kesalahan administrasi seperti salah hitung, surat Setoran Pajak yang diisi dengan tidak jelas, dan kesalahan administratif lainnya.

Kesalahan administrasi perpajakan seperti ini dapat diperbaiki dengan cara pemindahbukuan (Pbk).

Lantas, apa itu Pemindahbukuan Pajak atau (Pbk)? Simak jawabannya di sini!

Pemindahbukuan Pajak Menurut Peraturan Perpajakan

Pemindahbukuan pajak mulanya diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No.88/KMK.04/1991 tentang Tata Cara Pembayaran Pajak Melalui Pemindahbukuan.

Dimana kemudian diatur dalam Keputusan DJP No.KEP-965/PJ.9/1992 tentang Pelaksanaan Teknis Tata Cara Pembayaran Pajak Melalui Pemindahbukuan.

Kemudian dalam perkembangannya, tata cara pemindahbukuan diatur dalam PMK No.242/PMK.03/2014 tentang Tata cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak.

Dalam peraturan tersebut disebutkan secara singkat apa itu pemindahbukuan pajak.

Dimana pemindahbukuan pajak adalah proses memindahbukukan penerimaan pajak untuk dibukukan pada penerimaan pajak sesuai.

Apa maksudnya?

Pada awal tulisan ini dijelaskan bahwa asas perpajakan di Indonesia menganut sistem self-assessment dimana Wajib Pajak diberi kesempatan untuk mengelola pajaknya sendiri.

Karena hal ini, ketika Wajib Pajak melaporkan pajaknya, maka perhitungan pajak yang tercatat oleh Wajib Pajak tersebut harus disesuaikan dengan catatan pejabat perpajakan.

Jika dalam istilah perbankan, kurang lebih pemindahbukuan sama halnya dengan rekonsiliasi.

Selain itu, pemindahbukuan pajak dapat dilakukan untuk hal-hal berikut:

  1. Antar jenis pajak yang sama maupun berbeda
  2. Perbedaan masa atau tahun pajak
  3. Untuk Wajib Pajak yang sama maupun berbeda
  4. Dalam satu Kantor Pelayanan Pajak yang sama atau beda.

Namun perlu dicatat, pemindahbukuan merupakan sarana administrasi selain Surat Setoran Pajak (SSP).

Itu berarti ada hal-hal administrasi perpajakan yang membutuhkan pemindahbukuan dan ada hal lainnya yang tidak perlu.

Sebab Terjadinya Pemindahbukuan Pajak

Dalam PMK No.242/PMK.03/2014, ada beberapa hal penyebab Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pemindahbukuan kepada Direktur Jenderal Pajak.

Hal-hal tersebut adalah sebagai berikut:

  • Pemindahbukuan karena adanya kesalahan dalam pengisian formulir SSP, SSPCP, baik menyangkut WP sendiri maupun WP lain.
  • Pemindahbukuan karena adanya kesalahan dalam pengisian data pembayaran pajak yang dilakukan melalui sistem pembayaran pajak secara elektronik tertera dalam dalam Bukti Penerimaan Negara (BPN).
  • Pemindahbukuan karena adanya kesalahan perekaman atas SSP dan SSPCP yang dilakukan Bank atau Pos Persepsi.
  • Pemindahbukuan karena kesalahan perekaman atau pengisian Bukti Pemindahbukuan (Pbk) oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
  • Pemindahbukuan dalam rangka pemecahan setoran pajak dalam SSP, SSPCP, BPN atau Bukti Pbk menjadi beberapa jenis pajak atau setoran beberapa WP dan/atau objek pajak PBB.
  • Pemindahbukuan karena pembayaran pada SSP, BPN, atau Bukti Pbk lebih besar dari pada pajak terutang dalam Surat Pemberitahuan, Surat Ketetapan Pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, Surat Ketetapan Pajak PBB atau Surat Tagihan Pajak PBB.
  • Pemindahbukuan karena jumlah pembayaran pada SSPCP atau Bukti Pbk lebih besar dari pada pajak terutang  dalam pemberitahuan pabean impor, dokumen cukai, atau Surat Tagihan/Penetapan.
  • Pemindahbukuan karena sebab lain yang diatur oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Dalam PMK tersebut juga dijelaskan pemindahbukuan karena kesalahan pengisian formulir SSP meliputi NPWP, nama Wajib Pajak, Nomor dan Letak Objek Pajak, Kode Akun Pajak atau Kode Jenis Setoran, Masa atau Tahun Pajak, nomor ketetapan dan jumlah pembayaran

Apabila terjadi kesalahan-kesalahan yang disebutkan di atas, Anda bisa mengajukan permohonan Pemindahbukuan kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui KPP tempat pembayaran diadministrasikan.

Kondisi Tidak Dapat Dilakukan Pemindahbukuan

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, terdapat kondisi dimana tidak dapat dilakukannya pemindahbukuan pajak. Adapun kondisinya adalah sebagai berikut:

  • Pemindahbukuan atas SSP yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak yang tidak dapat dikreditkan.
  • Pemindahbukuan ke pembayaran PPN atas objek pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dengan menggunakan SSP yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
  • Pemindahbukuan ke pelunasan Bea Meterai yang dilakukan dengan membubuhkan tanda bea Meterai Lunas dengan mesin teraan meterai digital.
  • Pemindahbukuan dengan mata uang Dollar Amerika Serikat. Hal ini karena pemindahbukuan untuk WP yang melakukan pembayaran dalam mata uang Dollar Amerika Serikat hanya dapat dilakukan antar pembayaran pajak yang dilakukan dalam mata uang serupa.

Syarat dan Cara Pemindahbukuan Pajak

Adapun cara pemindahbukuan pajak adalah sebagai berikut:

  1. Mengajukan permohonan pemindahbukuan yang diajukan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat pembayaran diadministrasikan menggunakan surat atau formulir permohonan pemindahbukuan pajak.
  2. Surat atau formulir tersebut dapat diserahkan secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat pembayaran diadministrasikan; atau
  3. Melalui pos atau jasa pengiriman dengan bukti pengiriman surat ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pembayaran diadministrasikan.

Formulir pemindahbukuan pajak dapat Anda lihat melalui lampiran PMK.242/PMK.03/2014 di sini.

Dokumen yang Harus Dipersiapkan

Selain surat atau formulir pemindahbukuan pajak, Anda juga perlu melampirkan beberapa syarat dokumen sebagai berikut:

  • Surat Setoran Pajak (SSP) asli, Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak (SSPCP) asli, Bukti Pemindahbukuan asli, dokumen BPN, atau bukti asli pembayaran PPh dalam Mata Uang Dollar Amerika Serikat yang dimohonkan untuk dipindahbukukan.
  • Apabila terjadi akibat kesalahan perekaman oleh petugas Bank atau Pos Persepsi, maka dokumen yang dilampirkan surat pernyataan kesalahan perekaman dari pimpinan Bank atau Pos Persepsi tempat dilakukan pembayaran.
  • Apabila permohonan diajukan atas SSPCP, maka dokumen yang dilampirkan surat pemberitahuan pabean impor, dokumen cukai, atau surat tagihan yang asli.
  • Apabila permohonan pemindahbukuan diajukan atas SSP, SSPCP, BPN atau Bukti Pbk yang tidak mencantumkan NPWP, maka dokumen yang dilampirkan fotokopi KTP penyetor atau pihak penerima pemindahbukuan.
  • Apabila penyetor melakukan kesalahan pengisian NPWP, maka dokumen yang dilampirkan adalah fotokopi dokumen identitas penyetor atau wakil badan penyetor.
  • Apabila nama dan NPWP pemegang asli SSP tidak sama dengan nama dan NPWP yang tercantum dalam SSP, maka dokumen yang dilampirkan adalah surat pernyataan tidak keberatan dipindahbukukan.

Sebagai catatan, dokumen asli SSP, SSPCP, atau bukti Pbk yang telah dipindahbukukan terdapat cap yang telah dibubuhi dan ditandatangani oleh Kepala Kantor DJP yang melakukan pemindahbukuan.

Syarat dan Subjek Pemohon Pemindahbukuan Pajak

Pembayaran pajak dalam SSP, SSPCP, BPN, atau Bukti Pbk dapat diajukan permohonan pemindahbukuan dalam pembayaran tersebut belum diperhitungkan dengan pajak yang terutang dalam:

  • Surat Pemberitahuan Pajak (SPT)
  • Surat Tagihan Pajak atau Surat Ketetapan Pajak
  • Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
  • Surat Tagihan Pajak PBB atau Surat Ketetapan Pajak PBB
  • Pemberitahuan Impor Barang (PIB)
  • Dokumen Cukai
  • Surat Tagihan/Penetapan

Lalu siapa yang berhak mengajukan permohonan pemindahbukuan pajak?

    1. Wajib Pajak Penyetor apabila permohonan diajukan karena kesalahan pembayaran atau penyetoran.
    2. Pejabat yang melaksanakan pemindahbukuan atau WP yang semula mengajukan permohonan pemindahbukuan apabila terjadi kesalahan perekaman Bukti Pemindahbukuan.
    3. Wajib Pajak pusat apabila permohonan yang diajukan atas SSP, SSPCP, BPN, dan Bukti Pbk yang mencantumkan NPWP dari Wajib Pajak cabang yang telah dihapus.

 

  • Surviving company, entitas baru hasil merger, atau pihak yang menerima penggabungan apabila permohonan diajukan atas SSP, SSPCP, BPN, dan Bukti Pbk dari WP yang menggabungkan usaha atau merger.

Baca Juga: Ini 5 Jenis Surat Ketetapan Pajak yang Perlu Anda Ketahui

 

Berapa Lama Proses Pemindahbukuan?

Menurut Surat Edaran DJP No.SE-54/PJ/2015 tentang SOP Layanan Unggulan Bidang Perpajakan, proses pemindahbukuan pajak dilakukan paling lama 30 hari.

Apabila permohonan pemindahbukuan diterima, maka Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Bukti Pemindahbukuan atau Bukti PBk.

Apabila permohonan ditolak, maka Anda akan mendapatkan surat pemberitahuan secara tertulis yang diterbitkan pula oleh Direktur Jenderal Pajak.

Itulah penjelasan tentang pemindahbukuan pajak. Tetaplah menjadi Wajib Pajak yang bertanggung jawab terhadap kewajiban perpajakan.

Jika Anda ingin melakukan tax planning, Rusdiono Consulting siap mendampingi Anda termasuk apabila terjadi sengketa pajak. Hubungi Kami di sini!


July 8, 2021
WhatsApp-Image-2021-07-04-at-8.27.44-AM.jpeg

Istilah tutup buku mungkin sering Anda temui di berbagai kesempatan. Namun apakah Anda tahu apa sebenarnya istilah tersebut?

Istilah tutup buku merupakan istilah yang berasal dari akuntansi. 

Dimana entitas bisnis harus melakukan tutup buku pada setiap akhir periode akuntansi yang umumnya berjalan selama satu tahun.

Melalui artikel ini, Anda akan memahami istilah tutup buku dan kenapa sebuah entitas bisnis harus melakukannya.

Apa itu Tutup Buku?

Ketika memiliki sebuah bisnis tentu pasti bagi Anda untuk merekam setiap transaksi mulai dari pendapatan, pengeluaran, dan transaksi-transaksi lainnya ke dalam pembukuan.

Nantinya pembukuan ini akan menjadi laporan yang menyimpan informasi dalam satu periode akuntansi.

Pada saat mendekati akhir periode akuntansi, segala pembukuan yang dilakukan akan ditutup. 

Aktivitas ini lah yang pada umumnya disebut dengan tutup buku.

Secara umum, tutup buku adalah aktivitas merangkum atas perolehan hasil akhir dari suatu siklus akuntansi atau keuangan sebuah bisnis.

Dengan kata lain, tutup buku merupakan tanda bagi bisnis telah menutup laporan pada periode keuangan tersebut.

Jadi, ketika ada aktivitas keuangan dilakukan setelah masa tutup buku, aktivitas tersebut akan dimasukkan ke dalam pembukuan pada periode selanjutnya.

Aktivitas tutup buku juga dilakukan dengan cara memindahkan saldo akhir pada setiap akun menjadi saldo awal pada periode selanjutnya.

Sebagai catatan, aktivitas tutup buku tidak hanya dilakukan pada satu tahun periode akuntansi, namun juga bisa dilakukan pada satu bulan periode.

Hal tersebut biasanya dilakukan untuk membentuk jurnal penyusutan aset dan revaluasi yang tidak mungkin dilakukan dalam periode tahunan.

Apabila tutup buku dilakukan bulanan, setiap akun laba-rugi ditutup dan dipindahkan ke akun laba untuk bulan berikutnya pada periode berjalan.

Sedangkan apabila tutup buku dilakukan tahunan, laporan laba-rugi akan dipindahkan sebagai laba ditahan.

Fungsi Tutup Buku

Tujuan utama perusahaan melakukan tutup buku adalah untuk mengetahui posisi saldo akhir pada satu periode siklus akuntansi.

Dari tujuan yang umum ini, maka aktivitas tutup buku secara komprehensif memiliki empat fungsi umum.

Fungsi-fungsi tersebut adalah fungsi pelaporan, analisis, evaluasi dan pembentukan.

Secara lengkap, berikut penjelasan dari keempat fungsi tersebut.

1. Fungsi Pelaporan

Dengan melakukan tutup buku, perusahaan bisa mengetahui keadaan keuangan pada periode sebelumnya.

Dalam hal pembagian dividen misalnya. Aktivitas tutup buku bisa menjadi penanda tanggal cut-off siapa yang menerima dividen dan kapan investor tersebut akan menerima dividen.

Bukan hanya bagi investor. Penentuan tanggal dan informasi tutup buku juga berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan seperti auditor, petugas pajak dan direksi.

2. Fungsi Analisis

Adanya tutup buku pada sebuah siklus akuntansi juga membantu perusahaan dalam mengambil keputusan melalui analisis posisi keuangan perusahaan.

Perusahaan mampu mengetahui saldo akhir, laba-rugi, nilai aset, hingga piutang maupun hutang pada periode tersebut.

Dari kondisi keuangan tersebut, perusahaan bisa mengetahui apakah target berhasil dicapai pada periode tersebut dan mampu membantu dalam pengambilan keputusan strategis pada periode selanjutnya.

Jika perusahaan tidak melakukan tutup buku, maka segala aktivitas yang seharusnya masuk pada periode selanjutnya terekam pada periode berjalan dan akan mengacaukan aktivitas analisis keuangan.

3. Fungsi Evaluasi

Dengan melakukan tutup buku, perusahaan mampu mengidentifikasi masalah yang menyebabkan hambatan bagi perkembangan usaha yang sedang dijalankan.

Perusahaan mampu mengetahui pos-pos apa yang menjadi masalah pada bisnis, bagian apa yang perlu ditingkatkan atau bahkan dihilangkan.

4. Fungsi Pembentukan

Fungsi lainnya dari aktivitas tutup buku adalah saldo akhir pada periode sebelumnya dibentuk atau digunakan sebagai saldo awal pada periode selanjutnya.

Sehingga penggunaan saldo akhir tersebut menjadi saldo baru yang akan digunakan untuk aktivitas operasional perusahaan pada periode berjalan atau selanjutnya.

Tips Melakukan Tutup Buku

1. Susun Jurnal Penyesuaian Akrual

Jika mencatat dengan metode basis akrual, Anda perlu memposting entri jurnal ke akun berikut:

  • Pendapatan baik yang ditangguhkan atau pun belum ditagih.
  • Aset persediaan atau Harga Pokok Penjualan
  • Beban baik yang masih harus dibayar maupun yang telah dibayar di muka.

2. Ulas Kembali Laporan Keuangan

Tips selanjutnya adalah ulas kembali laporan keuangan pada periode sebelumnya.

Hal-hal yang perlu diperhatikan misalnya adanya penyimpangan nilai, saldo yang tidak biasa, item yang hilang, atau kesalahan lainnya.

Selain laporan keuangan, Anda juga perlu mengulas kembali atau memperbarui anggaran.

Misalnya, area mana yang hasil realisasinya sangat berbeda dengan anggaran yang telah ditentukan dan apa penyebabnya.

Pada akhirnya, mengulas anggaran juga akan mengungkap kesalahan yang tercatat pada laporan keuangan yang mungkin terlewatkan.

3. Tetapkan Tanggal Penutupan

Menetapkan tanggal pembukuan dilakukan untuk mencegah terjadinya perubahan yang dapat mengganggu pelaporan pada pembukuan sebelumnya.

Menetapkan cut-off juga berfungsi sebagai informasi kepada pihak-pihak terkait untuk dapat menerima laporan keuangan pada periode sebelumnya.

4. Rekonsiliasi setiap Transaksi

Transaksi bisnis pada periode berjalan tentu tidak hanya dilakukan dalam satu platform. Misalnya melalui payment gateway, bank, atau kartu kredit.

Perbedaan data dari platform tersebut dengan catatan internal mungkin akan terjadi dan Salah satu cara untuk menyamakan aktualisasi data adalah dengan rekonsiliasi.

Itulah penjelasan mengenai istilah buku besar dan tips bagaimana melakukan tutup buku yang benar.

Semoga artikel ini mampu memberikan wawasan baru bagi Anda terlebih bagi yang baru saja memulai bisnisnya.

Jika Anda kesulitan dalam mengelola keuangan bisnis Anda, Kami, Rusdiono Consulting siap memberikan pendampingan terutama dalam mengelola keuangan bisnis Anda saat ini.


June 7, 2021
WhatsApp-Image-2021-06-06-at-12.56.33-PM.jpeg

Analisis laporan keuangan adalah elemen penting yang tidak bisa dipisahkan dari perusahaan. Hal ini karena analisis laporan keuangan menjadi salah satu dasar untuk mengambil keputusan strategis pada bisnis. Di sisi lain, laporan keuangan juga digunakan untuk memberikan gambaran terhadap sehat-tidaknya suatu perusahaan. Lebih lengkap mengenai analisis laporan keuangan beserta metode-metodenya, mari simak artikel ini.

Pengertian Analisis Laporan Keuangan

Sebelum mengetahui apa itu analisis laporan keuangan mari ingat jenis-jenis laporan keuangan secara umum. Jika Anda lupa, laporan keuangan umumnya terdiri dari laporan laba rugi, neraca, perubahan modal, dan juga arus kas. Untuk lebih jelas mengenali jenis-jenis laporan keuangan Anda bisa membaca melalui artikel berikut: 5 Jenis Laporan Keuangan

Tentu laporan-laporan keuangan ini berfungsi sebagai sumber informasi yang dapat digunakan baik oleh perusahaan maupun stakeholder seperti investor.

Bagi perusahaan, laporan keuangan digunakan untuk melakukan pengambilan keputusan strategis pada bisnis ke depannya.

Sedangkan bagi investor, laporan keuangan berfungsi sebagai sumber informasi untuk mengevaluasi nilai dan kesehatan bisnis secara keseluruhan.

Informasi pada laporan keuangan tentu tidak bisa ditelan mentah-mentah sehingga perlu dianalisis untuk menghasilkan informasi yang benar-benar akurat, mendalam, dan bisa dipertanggungjawabkan.

Di sinilah kegiatan analisis laporan keuangan dilakukan. Jadi apa sebenarnya analisis laporan keuangan?

Analisis laporan keuangan adalah aktivitas identifikasi, menilai, mengolah hingga membandingkan informasi laporan keuangan menjadi informasi yang sebenar-benarnya dan mendalam.

Tujuan Analisis Laporan Keuangan

Tujuan umum dari analisis laporan keuangan telah dijelaskan sebelumnya di awal pembuka artikel ini; sebagai dasar pengambilan keputusan strategis dan informasi nilai bisnis perusahaan.

Namun sebenarnya, analisis laporan keuangan memiliki tujuan yang lebih spesifik seperti:

  • Mengetahui kemampuan perusahaan dalam melunasi hutang-hutangnya baik jangka pendek maupun jangka panjang.
  • Menilai kinerja bisnis pada tahun berjalan.
  • Membandingkan nilai perusahaan sendiri dengan pesaing.
  • Mengetahui kemampuan perusahaan dalam memanfaatkan aset ke arah yang lebih menguntungkan.
  • Memproyeksikan bisnis yang terjadi di masa depan.
  • Mengetahui perubahan posisi keuangan pada periode tertentu.
  • Mengidentifikasi pos-pos keuangan yang bermasalah.

Metode Analisis Laporan Keuangan

Secara umum ada dua metode analisis laporan keuangan yaitu metode horizontal dan vertikal.

Analisis Horizontal

Metode analisis keuangan horizontal adalah metode analisis dengan membandingkan pos-pos laporan keuangan yang sama pada periode yang berbeda.

Biasanya perbandingan laporan keuangan yang dianalisis menggunakan dua atau tiga periode dimana periode yang lebih awal digunakan sebagai dasar pembandingnya.

Analisis ini digunakan dengan melihat persentase penurunan dan kenaikan pos-pos laporan keuangan dari periode yang dibandingkan. 

Oleh karena itu, metode ini sering disebut juga dengan metode dinamis.

Selain membandingkan laporan keuangan dua periode atau lebih yang disebut juga dengan analisis komparatif, ada beberapa metode lain yang umum digunakan untuk melakukan analisis horizontal, yaitu:

  • Analisis trend atau indeks – analisis untuk mengetahui kecenderungan dari posisi keuangan. Analisis ini biasanya dinyatakan dalam persentase. Namun dapat juga dinyatakan dalam indeks apabila menggunakan lebih dari dua periode.

 

  • Analisis sumber dan modal kerja – digunakan apabila ingin mengetahui sumber dan alokasi modal perusahaan, serta faktor-faktor yang mempengaruhi perubahannya.
  • Analisis perubahan laba kotor – digunakan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab perubahan laba kotor perusahaan dari periode ke periode.
  • Analisis sumber dan penggunaan kas – digunakan untuk mengetahui kondisi kas dan penyebab terjadinya perubahan kas pada suatu periode tertentu.

 

Contoh Sederhana Analisis Laporan Keuangan Horizontal

Sebagai gambaran, mari ambil contoh sederhana dengan membandingkan pendapatan perusahaan dari periode saat ini dan sebelumnya.

Sebuah perusahaan PT ABC pada tahun 2019 memiliki pendapatan sebesar Rp625.500.000 dan pada tahun 2020 memiliki pendapatan sebesar Rp575.000.000

Maka untuk melakukan analisis horizontal, Anda perlu mencari persentase perubahan pendapatan dari periode tahun 2019 ke tahun 2020 dengan cara:

= (Pendapatan tahun 2020 – Pendapatan 2019) / Pendapatan 2019.

= (Rp625.500.000 – Rp 575.000.000) / Rp575.000.000

= 8.78%

Maka terdapat penurunan pendapatan PT ABC sebesar 8.78% dari tahun 2019 ke tahun 2020. Melalui persentase ini, Anda bisa melihat penyebab adanya penurunan dari persentase pos-pos lain dari perbandingan laporan periode sebelumnya.

Analisis Vertikal

Analisis vertikal digunakan dengan membandingkan pos-pos keuangan yang berbeda pada satu laporan keuangan yang sama di satu periode yang sama.

Oleh karena itu, analisis vertikal sering disebut juga sebagai metode analisis statis.

Adapun yang termasuk ke dalam analisis laporan keuangan vertikal adalah sebagai berikut.

1. Analisis Common Size

Analisis common size adalah analisis yang membandingkan pos-pos laporan keuangan dengan menggunakan persentase dalam satu periode tertentu. 

Laporan yang dianalisis biasanya adalah laporan laba rugi dan neraca. 

Untuk laporan laba rugi dinyatakan sebagai persentase dimana setiap akun barisnya dibagi dengan pendapatan. Sedangkan pada laporan neraca, setiap akun dibandingkan dengan total aset.

2. Analisis Break Even

Analisis break even atau analisis titik impas adalah analisis yang digunakan untuk menentukan tingkat pendapatan yang harus dicapai oleh perusahaan.

Analisis break even membantu perusahaan untuk menganalisis berapa produk yang harus dijual atau berapa rupiah yang harus diterima pada satu periode tertentu.

Analisis ini bertujuan untuk membantu perusahaan dalam mengambil keputusan strategi bisnis agar perusahaan bisa mendapatkan keuntungan dan mengurangi risiko kerugian.

Baca Juga: Break Even Point (BEP): Pengertian dan Cara Hitungnya

 

3. Analisis Rasio Keuangan

Analisis rasio keuangan digunakan untuk menilai suatu kinerja perusahaan berdasarkan pos-pos laporan keuangan pada satu periode tertentu.

Analisis rasio keuangan berfungsi sebagai tolak ukur dalam mengambil langkah strategis perusahaan pada periode selanjutnya dan mengevaluasi sumber daya perusahaan.

Ada empat alat ukur dalam analisis rasio keuangan yaitu rasio likuiditas, rasio solvabilitas, rasio profitabilitas dan rasio aktivitas.

Penjelasan mengenai analisis rasio keuangan adalah sebagai berikut:

  • Rasio likuiditas berguna untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya.

Rasio likuiditas membandingkan kas, efek, dan piutang dengan hutang jangka pendeknya.

  • Rasio solvabilitas digunakan mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka panjangnya.

Rasio solvabilitas membandingkan seluruh beban utang perusahaan terhadap aset atau modalnya.

  • Rasio profitabilitas mengukur kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba yang berhubungan dengan nilai penjualan, aktiva, dan modal.
  • Rasio aktivitas digunakan untuk mengukur seberapa efektif perusahaan dalam memanfaatkan asetnya untuk dikonversikan menjadi keuntungan.

Contoh Sederhana dari Analisis Laporan Keuangan Vertikal

Seperti yang diketahui bahwa analisis vertikal membandingkan pos-pos laporan keuangan pada satu periode tertentu.

Mari ambil contoh analisis likuiditas lancar (current ratio). 

PT ABC memiliki total aset lancar sebesar Rp10.000.000 dan memiliki utang yang harus dilunasi dalam jangka waktu satu tahun sebesar Rp5.000.000 pada tahun 2020.

Maka, pada analisis ini Anda akan membandingkan dua pos laporan keuangan yaitu total aset lancar dan juga utang jangka pendek perusahaan dalam satu periode tertentu.

Melalui rumus rasio likuiditas lancar maka:

= Total aset lancar/utang jangka pendek

= Rp10.000.000/Rp5.000.000 X 100% = 2

Pada current ratio, jika perbandingan angkanya di atas 1, maka perusahaan terbilang aman dan mampu melunasi utang lancar atau jangka pendeknya.

Kesimpulan

Itulah penjelasan singkat mengenai laporan keuangan serta metode analisisnya. Sebenarnya ada banyak jenis metode analisis laporan keuangan yang bisa digunakan.

Namun secara umum, analisis laporan keuangan dibagi menjadi dua metode yaitu analisis vertikal dan juga horizontal. Dimana perbedaan keduanya berada pada objek pembanding dan tujuan analisisnya.

Dari kedua metode tersebut, Anda bisa mengembangkan metode-metode analisis yang lebih komprehensif sesuai dengan kebutuhan analisis perusahaan.


May 3, 2021
WhatsApp-Image-2021-05-02-at-4.24.28-PM.jpeg

Persediaan barang dagang adalah elemen penting yang harus diperhatikan oleh setiap perusahaan dagang.

Seperti namanya, elemen yang termasuk dalam persediaan barang dagang adalah barang-barang yang memang untuk dijual, bukan seluruh aset yang dimiliki perusahaan.

Misalnya Anda pengusaha sepatu, maka barang dagangnya adalah sepatu yang dijual. Sedangkan aset lain seperti laptop, mesin jahit, dan alat-alat lain tidak termasuk barang dagang karena tidak dijual dan merupakan aset operasional.

Untuk lebih memahami apa itu persediaan barang, mari simak penjelasan lengkapnya melalui artikel ini.

Pengertian Persediaan Barang Dagang

Secara singkat, Chron mendefinisikan persediaan barang dagang secara singkat yaitu segala bentuk barang dagang yang diperoleh pedagang untuk dijual kembali.

Umumnya, persediaan barang dagang dilakukan oleh para pengusaha di bidang ritel, grosir, atau setingkat distributor.

Berbeda dengan persediaan barang lain, persediaan barang dagang terbilang lebih sederhana karena aktivitas penyimpanan barang dagang tanpa melalui proses pengolahan yang sifatnya merubah bentuk maupun fungsi.

Dalam akuntansi, persediaan barang dagang merupakan aset lancar karena sifatnya yang mudah dikonversikan menjadi uang tunai.

Selain itu, persediaan barang dagang berada pada saldo debit normal yang berarti debit akan meningkat dan kredit akan berkurang.

Manfaat Mengatur dan Mencatat Persediaan Barang Dagang

Persediaan barang dagang sejatinya perlu diatur dan dicatat karena seperti yang telah disebutkan tadi, persediaan barang dagang termasuk aktiva lancar yang harus dicatat keluar-masuknya untuk kebutuhan laporan keuangan.

Selain itu, persediaan barang dagang juga harus dikelola secara efektif dan efisien agar memiliki nilai manfaat bagi perusahaan. Adapun manfaat yang bisa didapat dari tata kelola persediaan barang dagang adalah sebagai berikut:

  • Memudahkan perusahaan untuk memeriksa jumlah stok barang yang disimpan dan ketersediaannya untuk dijual.
  • Mengurangi adanya risiko jika terjadi permintaan yang cukup tinggi. Misalnya pengiriman barang yang telat atau stok kosong.
  • Memudahkan pengusaha untuk mengetahui jenis-jenis barang dagang yang memiliki permintaan tinggi sehingga berpengaruh pada proses pengambilan keputusan dalam hal penjualan.
  • Menciptakan arus keluar masuk dagang yang efisien sehingga tidak ada penumpukan barang yang menyebabkan barang dagang cepat rusak.
  • Antisipasi apabila terjadi anomali permintaan dari konsumen.
  • Sebagai dasar strategi penjualan misalnya menggunakan quantity discount.

Strategi Manajemen Persediaan Barang Dagang

Persediaan barang dagang sangat erat kaitannya dengan bagaimana perusahaan menerapkan strategi penjualannya.

Nah, berikut beberapa strategi umum yang dilakukan perusahaan untuk mengatur dan mengelola persediaan barang dagang:

1. Lot Size Inventory (Bath Stock)

Lot size inventory adalah strategi dengan mengadakan persediaan barang dagang yang melebihi perkiraan kebutuhan saat ini.

Biasanya strategi ini digunakan ketika perusahaan memanfaatkan potongan harga dan ongkos pengiriman dari supplier.

2. Fluctuation Stock (Stok Fluktuasi)

Merupakan strategi persediaan dengan membeli barang dagang untuk menghadapi kemungkinan terjadi fluktuasi permintaan dari pelanggan yang sulit diprediksi.

Strategi ini sifatnya berjaga-jaga untuk menghindari perusahaan dari kerugian karena tidak bisa memenuhi permintaan konsumen yang tinggi.

3. Anticipation Stock (Stok Antisipasi)

Agak mirip dengan stok fluktuasi, stok antisipasi dilakukan untuk menghadapi lonjakan permintaan yang telah diramalkan berdasarkan pola konsumsi konsumen setiap tahunnya.

Misalnya saja ketika menjelang ramadhan, pengusaha baju lebaran cenderung menyediakan barang dagangan lebih banyak dibanding waktu-waktu lain.

4. Persediaan Konsinyasi

Konsinyasi atau titipan yaitu barang dagang ditempatkan di tempat lain untuk dijual. Misalnya di tempat agen, cabang, atau mitra usaha.

Konsinyasi merupakan strategi penjualan untuk mendapatkan keuntungan lebih dari penempatan produk ke wilayah yang lebih spesifik dan memiliki pasar yang lebih baik.

Pencatatan Akuntansi Persediaan Barang Dagang

Setiap aktivitas atau transaksi keluar masuk persediaan barang dagang perlu dicatat untuk mengetahui faktor yang memengaruhi transaksi persediaan barang.

Berikut beberapa transaksi yang bisa memengaruhi persediaan barang dagang suatu perusahaan.

1. Pengadaan atau Pembelian

Setiap transaksi pengadaan mulai dari pembelian dan pelunasan barang dagang yang dilakukan kepada supplier.

  1. Potongan Pembelian

Potongan atau diskon yang diperoleh dari pembelian persediaan barang dari supplier. Potongan biasanya hanya diberikan apabila pembeli membeli dalam jumlah besar.

3. Biaya Pengiriman Pembelian

Transaksi terhadap ongkos kirim yang dibayarkan ketika membeli barang dagang dari supplier ke tempat pembeli atau gudang penyimpanan.

Terdapat dua istilah yang perlu diperhatikan oleh pelaku usaha dalam proses pengiriman barang yaitu:

 

  • Free on Board Shipping Point (FOB): Barang menjadi milik pembeli ketika barang telah keluar dari tempat/gudang penjual. Dalam hal ini, biaya pengiriman ditanggung pembeli.
  • Free on Board Destination Point: barang menjadi milik pembeli ketika barang tersebut telah sampai di tangan pembeli. Selama pengiriman, barang masih miliki dan tanggung jawab penjual. Dalam hal ini, biaya pengiriman ditanggung penjual.

 

4. Retur Pembelian

Pengembalian semua atau sebagian persediaan barang dagang yang telah dibeli kepada supplier.

Adanya retur biasanya terjadi karena ada kerusakan saat pengiriman atau barang yang dipesan tidak sesuai dengan yang diminta.

5. Penjualan Barang Dagang

Transaksi penjualan barang dagang kepada konsumen baik penjualan kas maupun kredit.

6. Potongan Penjualan

Segala potongan yang terjadi selama penjualan barang kepada konsumen misalnya melalui promo atau diskon.

7. Biaya Pengiriman penjualan

Biaya yang dikeluarkan untuk mengirim barang dagang yang terjual kepada konsumen atau yang biasa disebut ongkos kirim.

Ongkos kirim saat ini terbagi menjadi beberapa model. Ada yang ditanggung penjual, ditanggung pembeli, atau ditanggung oleh pihak ketiga karena kondisi tertentu.

8. Retur Penjualan

Pengembalian barang dari konsumen yang terjadi karena barang yang dipesan tidak sesuai harapan konsumen.

9. Pajak

Bagi beberapa usaha yang telah terdaftar sebagai pengusaha kena pajak, perusahaan juga harus mencatat utang pajak seperti pajak pertambahan nilai.

Dalam hal ini, persediaan barang karena pembelian atau penjualan produk dibebankan atau dikenai tarif pajak.

Baca Juga: PPh Pasal 22, Pajak Ekspor Impor yang Wajib Diketahui

Metode Penilaian Persediaan

Metode penilaian persediaan didasari oleh sifat barang yang beragam. Misalnya barang yang mudah basi, mudah mengalami kerusakan, atau ukuran barang yang besar. 

Tentu, beda sifat barang maka beda juga perlakuannya. Barang yang punya jangka waktu kadaluarsa akan berbeda dengan barang yang awet.

Atas dasar hal tersebut, pengusaha perlu memahami bagaimana menilai barang-barang yang tersedia untuk dijual sehingga bisa memberikan keputusan mana barang yang akan dijual terlebih dahulu dan perlu ditahan.

Jika saja pengusaha salah menganalisis atau menilai persediaan yang ada, kemungkinan terburuk pengusaha tersebut akan mengalami kerugian.

Lalu apa saja komponen penilaian persediaan barang dagang?

1. First In, First Out (FIFO)

Metode dimana persediaan barang yang pertama kali masuk adalah yang pertama kali keluar terlebih dahulu.

Metode ini digunakan untuk sifat-sifat barang yang mengalami fluktuasi tinggi seperti bahan-bahan pokok yang dibutuhkan oleh masyarakat. Contohnya: beras, makanan, minuman, obat-obatan.

2. Last in, First Out (LIFO)

Metode yang menganggap persediaan barang yang pertama kali dikeluarkan adalah barang yang terakhir masuk.

Biasanya terjadi apabila barang tersebut mengalami permintaan tinggi atau adanya peramalan tren pada waktu tertentu.

Misalnya begini, seorang pengusaha kaos A akan memprioritaskan menjual kaos yang sedang tren saat ini dibanding stok sebelumnya.

3. Metode Average atau Rata-Rata

Metode yang membagi antara barang yang tersedia untuk dijual dengan jumlah unit yang tersedia. Dengan kata lain, metode ini merupakan titik tengah antara metode LIFO dan FIFO.

Metode Pencatatan Persediaan Barang Dagang

Ada dua metode umum pencatatan persediaan barang dagang yaitu sebagai berikut.

1. Metode Perpetual

Metode pencatatan dengan mencatat persediaan barang dagang saat terjadi transaksi penjualan.

Singkatnya, apabila ada transaksi penjualan yang menyebabkan perubahan persediaan, pada saat itu juga rekening persediaan juga ikut dicatat.

Salah satu keunggulan sistem pencatatan perpetual adalah perusahaan tidak perlu melakukan stock opname dengan alasan telah mengetahui stok sebenarnya di saat adanya transaksi tersebut.

Pencatatan metode perpetual biasanya dilakukan untuk barang dagang bernilai jual tinggi seperti mobil, perhiasan, barang elektronik, dan tipe barang berharga lainnya.

2. Metode Periodik atau Fisik

Berbeda dengan metode perpetual, metode periodik dimana persediaan barang tidak langsung dicatat saat adanya transaksi.

Pencatatan persediaan dilakukan di akhir periode penjualan dengan mengecek secara langsung persediaan barang. Oleh karena itu metode ini juga sering disebut dengan metode fisik.

Namun yang perlu diingat adalah transaksi dalam penjualan tetap dicatat dan hanya persediaannya saja yang tidak dicatat.

Pencatatan dengan metode ini biasanya dilakukan apabila barang yang dijual memiliki volume yang tinggi dengan frekuensi penjualan yang tinggi pula. Contoh: penjualan makanan.

Baca Juga: Mengenal Metode Penyusutan dan Jenisnya dalam Akuntansi

Contoh Jurnal Persediaan Barang Dagang

Sebagai perbandingan, berikut contoh sederhana dari pencatatan atau jurnal persediaan barang dagang.

 

Jenis Transaksi Metode Periodik Metode Perpetual
Pembelian barang Pembelian (D)

Kas/Utang dagang (K)

Persediaan barang (D)

Kas/Utang Dagang (K)

Retur pembelian Kas/Utang dagang (D)

Retur Pembelian (K)

Kas/Utang Dagang (D

Persediaan barang (K)

Potongan pembelian Kas (D)

Potongan Pembelian (K)

Kas (D)

Persediaan barang (K)

Penjualan barang Kas/Piutang (D)

Penjualan (K)

Kas/Piutang (D)

Penjualan (K)

Harga Pokok Penjualan (D)

Persediaan barang (K)

Retur penjualan Retur penjualan (D)

Kas/Piutang dagang (K)

Retur penjualan (D)

Kas/Piutang dagang (K)

Persediaan barang (D)

Harga Pokok Penjualan (K)

 

Berdasarkan contoh perbedaan antara metode periodik dan perpetual bisa dilihat setiap adanya transaksi, metode perpetual selalu mencatat persediaan barang.

Berbeda dengan metode periodik yang hanya mencatat transaksi penjualan atau pembelian tanpa mencatat persediaan barang.

 


April 2, 2021
WhatsApp-Image-2021-04-02-at-10.22.49-AM.jpeg

Istilah kasbon tentu tidak asing lagi bagi Anda. Kasbon adalah salah satu fasilitas yang diberikan oleh perusahaan untuk karyawannya biasanya berupa pinjaman.

Dalam akuntansi, kasbon sering masuk ke dalam kas perusahaan baik kas kecil berupa cash advance atau kas besar. Tentu tergantung dengan besaran kasbon dan kebijakan perusahaan.

Pengelolaan kasbon juga bukan hal yang bisa dianggap enteng apalagi jika perusahaan mengalokasikan dana kasbon pada kas besar.

Melalui artikel ini, mari simak apa itu kasbon dan apa saja bentuk-bentuk kasbon.

 

Apa itu Kasbon?

Pada dasarnya kasbon memiliki pengertian yang lebih luas yaitu pengeluaran perusahaan dimana nominal yang dikeluarkan tidak atau belum diketahui secara pasti.

Namun belakangan kasbon memiliki pengertian yang lebih sempit yaitu dimana kasbon adalah fasilitas pinjaman yang diberikan oleh sebuah instansi atau perusahaan kepada karyawannya.

Biasanya kasbon diambil dari alokasi besaran gaji karyawan yang akan dikembalikan dengan cara memotong gaji karyawan tersebut sesuai dengan jumlah kasbon yang ada.

Berbeda dengan pinjaman bank, kasbon biasanya tidak disertai bunga karena merupakan bentuk fasilitas perusahaan dalam rangka mensejahterakan karyawannya.

Misalnya saja pada kebutuhan-kebutuhan darurat misalnya untuk membayar biaya pernikahan, listrik, cicilan, atau kebutuhan mendadak lainnya.

Namun ada juga perusahaan yang menerapkan aturan khusus misalnya pagu, masa angsuran, tujuan pinjaman, bahkan bunga yang dikenakan.

Kasbon berbeda dengan fasilitas asuransi perusahaan. Kasbon biasanya terjadi pada hal-hal di luar kegiatan yang diasuransikan oleh perusahaan. Tentu ini kembali pada kebijakan perusahaan.

Pada lingkup manajemen SDM, kasbon juga berfungsi sebagai pemicu produktivitas dan loyalitas karyawan. Dengan adanya kasbon, perusahaan bisa menciptakan employee engagement pada karyawannya.

 

Pencatatan Kasbon; Kas Kecil atau Besar?

Meskipun sifatnya sementara dan biasanya di luar kebutuhan operasional perusahaan, kasbon karyawan tetap harus dicatat dalam jurnal.

Hal tersebut tentu karena kasbon termasuk ke dalam transaksi perusahaan yang perlu dicatat agar tidak terjadi selisih kas dan bisa dipertanggungjawabkan.

Namun seringkali terjadi pertanyaan, kemanakah pencatatan kasbon dibuat? Apakah ke dalam kas kecil atau kas besar?

Jawabannya adalah tergantung kebijakan perusahaan itu sendiri. Jika kasbon yang dikeluarkan dalam periode tertentu memengaruhi kas besar maka perusahaan bisa memasukkan kasbon ke dalam akun piutang lain-lain atau non-dagang.

Dimana dalam pencatatan jurnal terkait kasbon karyawan yaitu sebagai berikut.

Piutang Karyawan Rp xxx (Debit)
Kas Rp xxx (Kredit)

 

Jika piutang telah lunas, jurnalnya akan berubah seperti ini.

Kas Rp xxx (Debit)
Piutang Karyawan Rp xxx (Kredit)

 

Namun ada juga perusahaan yang memasukkan kasbon karyawan ke dalam kas kecil atau petty cash.

Biasanya dilakukan oleh perusahaan yang memiliki fasilitas kasbon karyawan secara khusus atau kasbon dikeluarkan untuk kebutuhan tidak terduga seperti dinas, parkir, dan keperluan meeting.

Baca juga: Memahami Petty Cash atau Kas Kecil dalam Pembukuan

Prosedur Pengeluaran Kasbon

Dalam mengeluarkan kasbon, perusahaan tidak bisa begitu saja memberikannya kepada karyawan. 

Karyawan perlu melewati beberapa prosedur atau SOP (Standar Operasional Perusahaan). meski berbeda-beda, pada dasarnya SOP pengeluaran kasbon di setiap perusahaan tetaplah sama.

 

1. Form atau Formulir Kasbon

Prosedur pertama dalam pengeluaran kasbon adalah pembuatan atau pengisian form kasbon oleh pemohon.

Biasanya dalam formulir kasbon terdiri dari header yang berisi nama perusahaan, judul formulir, nomor dokumen, dan kolom-kolom lainnya seperti masa berlaku formulir atau revisi formulir.

Kemudian diisi dengan nama peminjam, kolom persetujuan, besaran pinjaman, dan catatan keperluan.

Berikut contoh sederhana dari form kasbon.

 

FORM KASBON No.

Tanggal.

Pemohon:

Divisi:

Jabatan:

Catatan:
Nominal Pinjaman:
Mengetahui
Kasir HRD Pemohon/Penerima

 

2. Penyetujuan

Langkah kedua, setelah pemohon mengisi dan menyerahkan formulir ke kasir atau bagian keuangan. Maka selanjutnya pemohon tinggal menunggu proses persetujuan.

Proses persetujuan pun berbeda-beda tergantung kebijakan perusahaan. Ada yang langsung disetujui oleh manajer akuntansi, ada yang perlu melewati divisi lain seperti HRD, atau ada yang perlu persetujuan dari kepala cabang atau tingkat yang lebih tinggi seperti C-suite.

Biasanya semakin besar nominal pinjaman, maka semakin banyak pula pihak-pihak yang mengetahui permohonan kasbon.

Setelah disetujui, dokumen kasbon kemudian diperiksa oleh kasir apakah dokumen telah disetujui atau tidak. Apabila belum atau tidak disetujui pihak kasir berhak untuk menolak permohonan.

Apabila permohonan diterima, kasir memberikan nota kasbon. Biasanya nota kasbon merupakan formulir kasbon yang sudah ditanda-tangani oleh pihak-pihak yang mengetahui dan menyetujui adanya pengeluaran kasbon.

Nota kasbon digunakan sebagai bukti bahwa pemohon telah menerima uang kasbon yang diajukan dan sebagai bukti yang bisa dipertanggungjawabkan.

 

3. Jurnal atau Buku Kasbon

Dalam beberapa kasus, kasir kasbon biasanya mencatat transaksi kasbon ke dalam jurnal atau buku kasbon dan sifatnya sementara.

Dalam buku kasbon, kasir mencatat tanggal, pengeluaran kasbon, nomor kasbon, nama pemohon, keperluan, nominal, hingga jenis pengeluaran (tunai atau melalui bank).

Buku kasbon ini nantinya akan menjadi bukti pertanggungjawaban yang nantinya dimasukkan ke dalam laporan keuangan.

Baca Juga: Yuk Cek Cara Membuat Jurnal Umum Perusahaan!

 

Kesimpulan

Kasbon merupakan elemen penting yang tidak bisa dipisahkan dalam operasional bisnis. Meski merupakan bagian dari fasilitas perusahaan, aktivitas pengeluaran kasbon tentu harus bisa dipertanggungjawabkan.

Selain itu pengeluaran kasbon memiliki beberapa manfaat salah satunya adalah meningkatkan employee engagement pada sebuah perusahaan sehingga karyawan bisa lebih loyal dan produktif.

Di samping itu, adanya kasbon juga memfasilitasi perusahaan itu sendiri dalam mengawasi pengeluaran-pengeluaran di luar operasional yang bisa saja mengganggu arus kas perusahaan.