Memahami Pengertian dari Tax Haven atau Suaka Pajak

May 19, 2021by Admin dua
tax-haven.jpg

Kasus Panama Papers yang dibuka pada tahun 2016 berhasil mempopulerkan kembali istilah tax haven atau suaka pajak.

Panama Papers adalah kasus dimana ditemukannya banyak dokumen aset perusahaan dari berbagai negara yang disimpan oleh sebuah perusahaan hukum dan layanan korporasi asal Panama.

Peristiwa tersebut banyak dianggap oleh pakar pajak sebagai bagian dari praktik penghindaran pajak pada suaka pajak atau tax haven.

Istilah suaka pajak atau tax haven sebenarnya bukan hal baru di dunia perpajakan. Tapi apa itu sebenarnya suaka pajak atau tax haven?

 

Apa itu Tax Haven?

 

Asal-Usul

Istilah tax haven sendiri pertama kali muncul pada tahun 1894 pada majalah The Times dimana banyak wajib pajak Inggris memindahkan kekayaannya ke negara lain untuk menghindari pajak.

Tempat tax haven pun lahir akibat krisis ekonomi pasca perang dunia pertama dimana banyak negara yang menaikkan tarif pajak tinggi untuk melakukan restorasi nasional.

Tempat suaka pajak yang lahir pasca krisis perang dunia adalah Swiss yang mencakup Jenewa, Basel, dan Zurich.

 

Definisi dan Karakteristik

Suaka pajak atau tax haven adalah sebuah negara yang menawarkan pajak rendah bahkan tanpa pemungutan pajak kepada perusahaan atau individu asing.

Sama dengan kata “suaka” itu sendiri, suaka pajak menjadi tempat berlindung para wajib pajak untuk menghindari pemungutan pajak.

Namun begitu, berdasarkan laporan OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) pada tahun 1998 tidak ada istilah baku atau pasti mengenai suaka pajak.

Hal tersebut karena interpretasi mengenai tax haven dari berbagai negara sangat bias dan memiliki standar ganda.

Namun secara umum, negara tax haven dicirikan oleh OECD dan Tax Justice Network dengan empat hal yaitu:

  • Penerapan tarif pajak rendah hingga nol persen.
  • Kurangnya transparansi.
  • Kurangnya pertukaran informasi yang efektif.
  • Tidak ada persyaratan aktivitas substansial bagi perusahaan.

IMF (International Monetary Fund) menambahkan ciri-ciri dari negara suaka pajak dengan,

  • Tidak ada pemungutan pajak kecil atas pendapatan hasil investasi dan bisnis;
  • Tidak ada mekanisme withholding tax;
  • Sistem inkorporasi dan pengawasan yang rendah dan cenderung fleksibel;
  • Tidak memerlukan kehadiran fisik dari institusi finansial atau struktur perusahaan;
  • Diperbolehkan high level client yang memiliki kekuatan hukum dan kerahasiaannya sulit ditembus;
  • Tidak ada perlakuan insentif yang sama atas subjek pajak dalam negeri.

Berdasarkan ciri-ciri tersebut, yang paling umum menggambarkan suaka pajak adalah poin penerapan tarif pajak rendah hingga nol persen.

Hal ini karena ada beberapa negara yang sangat kooperatif memberikan informasi bahkan sangat transparan terhadap aset-aset perusahaan asing yang ada di negaranya.

Di sisi lain, hal itu juga yang menimbulkan bias dan kerancuan terhadap definisi suaka pajak itu sendiri.

Selain tax haven, dunia internasional juga mengenal beberapa istilah untuk menggambarkan kondisi tersebut di antaranya Preferential Tax Regime’s (PTRs) dan Offshore Financial Center (OFC).

Baca Juga: Sekilas Tentang Pajak Internasional dan Contoh Kasusnya

 

Motivasi Adanya Suaka Pajak (Tax Haven)

Banyak alasan kenapa banyak perusahaan yang menyimpan asetnya di negara suaka pajak. Di antaranya adalah:

  1. Sebagai tempat persembunyian aset ilegal perusahaan.
  2. Mempermudah administrasi perusahaan apalagi yang memiliki operasi bisnis mancanegara.
  3. Menghindari pengaturan pajak seperti pengurangan dan penangguhan beban pajak atau investasi bebas pajak.
  4. Perusahaan bisa melakukan diversifikasi investasi yang cenderung menguntungkan.
  5. Mendapatkan keuntungan yang lebih besar karena adanya pengurangan administrasi seperti pajak.
  6. Menghindari restriksi mata uang.
  7. Peluang dalam melakukan ekspansi bisnis.

Negara Suaka Pajak

Pada tahun 2021, Tax Justice Network menerbitkan laporan CTHI (Corporate Tax Haven Index) yang diterbitkan dua tahun sekali.

Mereka mengurutkan negara atau yurisdiksi suaka pajak berdasarkan seberapa agresif dan luas negara tersebut berkontribusi membantu perusahaan multinasional di dunia untuk menghindari pajak.

Laporan CTHI menggunakan dua indikator. Pertama, menggunakan 20 indikator terkait pajak mengenai seberapa agresif kebijakan atau aturan terkait suaka pajak di satu wilayah yurisdiksi.

Kedua, aktivitas investasi perusahaan yang digunakan sebagai proxy besaran pengalihan laba melalui bobot skala globa.

Berdasarkan laporan tersebut, ada 70 negara atau yurisdiksi tax haven yang didominasi oleh negara-negara Eropa dan wilayah teritorial Inggris baik wilayah perairan maupun commonwealth.

Terdapat 32 negara Eropa, 12 wilayah negara inggris, 10 negara dari benua Amerika, 9 negara Afrika dan 7 negara Asia.

Dimana British Virgin Island menempati posisi pertama diikuti Kepulauan Cayman, Bermuda, Belanda, Swiss, Luksemburg, Hongkong, Jersey, Singapura, dan Uni Emirat Arab.

Contoh aturan negara yang mendukung suaka pajak adalah Belanda dengan aturan Dutch Sandwich. Dimana sebuah perusahaan tidak perlu membayar pajak terhadap pembayaran royalti dan bunga yang sering digunakan untuk pendirian special purpose vehicle (SPV).

Keuntungan Negara Suaka Pajak

Dikutip laman Liputan6 melalui pengamat perpajakan Universitas Indonesia, Ruston Tambunan negara penganut suaka pajak atau tax haven memperoleh keuntungan dari pendirian perusahaan cangkang atau special purpose vehicle.

Negara suaka pajak mendapatkan luapan likuiditas yang cukup besar melalui dana kecil dalam jumlah besar dari aset perusahaan yang disimpan di negara tersebut.

Bukan hanya itu, faktor-faktor lain seperti sektor pariwisata juga menjadi sumber keuntungan negara suaka pajak. Hal ini karena banyak konglomerat berdatangan ke negara tersebut.

Langkah Perlawanan Suaka Pajak (Tax Haven)

Institusi yang mengatur dan mencegah adanya praktik tax haven sendiri cukup banyak, mulai dari IMF, uni eropa, Tax Justice Network, dan yang paling aktif adalah OECD (Organization for Economic Cooperation and Development).

Langkah-langkah yang sering dilakukan oleh lembaga OECD adalah pembentukan forum Harmful Tax Practice, perjanjian Tax Information Exchange yang dibentuk pada tahun 2001 dan perjanjian dengan negara-negara G-20 dengan membentuk Base Erosion and Profit Shifting Action Plan pada tahun 2013.

Di sisi lain, Uni Eropa juga membentuk Tax Haven Blacklist yang dibentuk untuk melacak negara atau yurisdiksi yang tidak kooperatif dengan Uni Eropa terkait pertukaran informasi pajak.

Daftar tersebut juga sebagai bentuk skema penamaan bagi negara-negara yang mendukung penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional

Langkah Dukungan Indonesia pada Perlawanan Suaka Pajak

Indonesia sendiri aktif dalam melawan praktik penghindaran pajak pada yurisdiksi suaka pajak. 

Sebagai negara G20, Indonesia turut mendeklarasikan perlawanan suaka pajak bersama OECD dengan menyepakati perjanjian transparansi informasi antar negara.

Selain itu, Indonesia juga menyepakati perjanjian bilateral terkait Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang berisi pembagian hak pemajakan atas penghasilan wajib pajak yang merupakan Warga Negara Asing.

Beleid tersebut tertuang pada Perpres RI Nomor 77 Tahun 2019 yang merupakan turunan dari UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perpajakan Internasional.

Admin dua

Send this to a friend