Tax Evasion, Pengertian, Faktor, dan Contoh Praktiknya

July 16, 2021by Admin dua
1_9LjCJPuRo52sPNxkvTX_WA.jpeg

Banyak cara bagi Wajib Pajak untuk mencurangi kewajiban perpajakan salah satunya melalui tax evasion.

Tax evasion sejatinya bukan istilah baru di dunia perpajakan. Bahkan, isu ini sudah dibahas oleh dunia internasional bahkan sejak tahun 1970-an.

Salah satu contoh terkenal tentang tax evasion adalah apa yang dilakukan oleh salah satu pesepakbola Lionel Messi yang menggelapkan pajak di tahun 2016 sebesar 4 juta Euro.

Lalu, apa itu sebenarnya tax evasion? Apakah aktivitas tax evasion melanggar hukum?

Apa itu Tax Evasion?

Tax evasion sering disebut juga dengan tax fraud atau penggelapan pajak.

Tax evasion adalah bentuk pelanggaran yang dilakukan Wajib Pajak dengan sengaja mengurangi jumlah pajak terutang bahkan meniadakan kewajiban membayar pajaknya secara ilegal.

Melansir Investopedia, Wajib Pajak dianggap melakukan tax evasion apabila dengan sengaja menyembunyikan aset atau memanipulasi data Wajib Pajak untuk menghindari pembayaran pajak.

Termasuk di dalamnya, tidak melaporkan SPT hingga manipulasi informasi pendapatan dan jumlah aset.

Bahkan pada kasus terberat Wajib Pajak berusaha memalsukan atau mencatut identitas, menerbitkan faktur pajak palsu, pendirian perusahaan fiktif, dan terparah dengan sengaja tidak membayar pajak terutang.

Tentu tindakan-tindakan yang dijelaskan di atas dapat merugikan negara yang pada akhirnya menjadi bagian dari pelanggaran hukum.

Meski begitu, tidak semua tindakan kurang bayar atau tidak membayar pajak bisa dianggap sebagai bentuk tax evasion.

Kasus tax evasion harus melalui proses penyelidikan atau audit perpajakan oleh pejabat berwenang. Apakah ada unsur kesengajaan atau tidak yang dapat menimbulkan sanksi denda atau pidana.

Hukum Tindakan Pelanggaran Pajak di Indonesia

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, tax evasion atau penggelapan pajak dianggap sebagai tindakan melanggar hukum.

Lantas, bagaimana aturannya di Indonesia?

Hukum tindak pelanggaran perpajakan di Indonesia sendiri diatur dalam Pasal 38 dan 39 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Dalam Undang-Undang tersebut apabila Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT atau telah menyampaikan SPT yang isinya tidak benar atau tidak lengkap maka Wajib Pajak dikenakan sanksi denda setinggi-tingginya sebesar dua kali jumlah pajak terutang.

Apabila ternyata terdapat unsur pidana di dalamnya, maka Wajib Pajak dikenakan kurungan selama-lamanya satu tahun penjara.

Sedangkan pada Pasal 39, dijelaskan juga apabila Wajib Pajak dengan sengaja melakukan:

  • Tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan Nomor Pokok Wajib Pajak
  • Tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
  • Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikannya namun isi di dalamnya tidak sesuai/tidak lengkap
  • Menolak untuk dilakukan audit atau pemeriksaan
  • Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan dan/atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya
  • Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia
  • Tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan.
  • Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.

Maka Wajib Pajak dapat dipidana paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun dengan denda sekurang-kurangnya 2 kali jumlah pajak terutang dan paling banyak 4 kali jumlah pajak terutang.

Untuk menimbulkan efek jera, apabila Wajib Pajak terbukti melakukan tindak pidana perpajakan sebelum lewat satu tahun sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara, maka Wajib Pajak akan dikenakan sanksi lebih berat menjadi dua kali sanksi pidana yang dijatuhkan.

Faktor yang Memengaruhi Tax Evasion

Ada pepatah kuno yang mengatakan, “Tak seorang pun senang membayar pajak

Melalui kutipan sederhana itu dapat diketahui bahwa secara naluri orang-orang sejatinya enggan membayar pajak karena dianggap sebagai beban tambahan.

Hal itu juga disepakati oleh Deborah Brautigam dalam bukunya Taxation and State-Building in Developing Country yang diterbitkan pada tahun 2008.

Menurutnya, pungutan pajak kepada masyarakat selalu bersifat quasi-voluntary.

Dengan kata lain, meski sifatnya sukarela tapi kesukarelaan tersebut memiliki unsur paksaan yang berasal dari undang-undang.

Sehingga tidak heran, jika dalam perkembangannya dunia perpajakan mengenal istilah tax evasion.

Analisis Penyebab Tax Evasion

Ada banyak studi yang menjelaskan kenapa entitas Wajib Pajak melakukan Tax Evasion. Salah satu studi yang paling umum adalah kaitannya dengan tax morale.

Menurut OECD, tax morale adalah ukuran persepsi atau kesadaran Wajib Pajak terhadap kewajiban pembayaran pajak.

Minimnya tax morale diukur sebagai rendahnya pengetahuan bahkan kesadaran Wajib Pajak terhadap kewajiban perpajakan yang sering kali diasosiasikan dengan tax evasion.

Asas tax morale juga tidak terlepas dari sistem self-assessment system yang telah diterapkan oleh banyak negara termasuk Indonesia.

self-assessment system adalah sistem yang memungkinkan Wajib Pajak menghitung, membayar, dan melaporkan pajak terutangnya sendiri.

Sistem mandiri seperti ini yang pada akhirnya membuka celah bagi Wajib Pajak untuk melakukan tindak kecurangan perpajakan.

Meski begitu, hal ini bukan berarti sistem self-assessment system adalah sebuah kecacatan atau dosa besar bagi aktivitas perpajakan di suatu negara.

Pelanggaran pajak yang terjadi juga sejatinya tanggung jawab otoritas pajak di negara setempat yang memiliki wewenang untuk membina, meneliti, membangun sistem, dan mengawasi jalannya perpajakan.

Studi lainnya adalah yang dilakukan oleh Alfredo Lamagrande. Dimana terdapat empat model pengukuran penyebab adanya tax evasion yaitu:

  1. Model ekonomis – model paling sederhana yaitu tax evasion dilakukan untuk mengurangi risiko kerugian atau memaksimalkan keuntungan Wajib Pajak bersangkutan.
  2. Model Empiris – model survei dan wawancara dengan mengambil sampel tertentu terhadap subjek pajak.

Contohnya yang dikemukakan oleh Spicer Lundstedt (1980) yang menjelaskan bahwa tax evasion akan berkurang ketika koersivitas (tingkat sanksi) lebih tinggi dan deteksi adanya pelanggaran dini.

  1. Model Simulasi dan Eksperimen – model penelitian tax evasion dengan melakukan simulasi atau eksperimen pada subjek pajak yang berada pada kondisi atau situasi tertentu.

Contoh apa yang dilakukan oleh Kleven  dkk. melalui penelitiannya yang berjudul Unwilling or Unable to Cheat? Evidence From a Tax Audit Experiment in Denmark di tahun 2011 terhadap 40 ribu Wajib Pajak di Denmark.

Dalam penelitiannya membuktikan bahwa audit memiliki dampak positif terhadap kepatuhan pajak.

  1. Model Psiko-Ekonomi – Model yang menggambarkan bahwa tax evasion terjadi karena kompleksitas penyebab karena melibatkan psikologi-ekonomi subjek Wajib Pajak.

Misalnya, tax evasion terjadi karena pengaruh dari lingkungan sosial budaya atau adanya rasa diskriminasi yang dirasakan oleh Wajib Pajak terhadap pengenaan pajaknya.

Dari model analisis tersebut, sebenarnya dapat dilihat bahwa baik Wajib Pajak maupun otoritas pajak memiliki peran penting dalam menertibkan aktivitas perpajakan salah satunya mengurangi praktik tax evasion.

Perbedaan Tax Evasion, Tax Avoidance, dan Tax Planning

Hal yang sering ditanyakan terkait tax evasion adalah perbedaannya dengan tax avoidance dan juga tax planning.

Perbedaan ketiganya adalah didasari dari legalitas. Itu artinya aktivitas tersebut mampu merugikan negara atau tidak.

Tax evasion jelas dalam praktiknya memiliki dampak kerugian bagi negara dan sifatnya ilegal karena melanggar Undang-Undang.

Lalu apa yang membedakannya dengan tax avoidance?

Secara umum bahkan disebutkan dalam buku-buku perpajakan, tax avoidance adalah skema transaksi perpajakan yang bertujuan mengurangi beban pajak dengan memanfaatkan kelemahan ketentuan perpajakan suatu negara.

Itu artinya tindakan tax avoidance masih berada dalam koridor hukum. 

Salah satu contoh adalah aktivitas perpajakan di negara tax haven yang memanfaatkan kelemahan hukum pajak di negara tersebut.

Beda tax avoidance, beda juga dengan tax planning.

Tax planning sendiri juga merupakan skema yang dilakukan untuk mengurangi beban pajak terutang namun sesuai dengan perundang-undangan dan sifatnya tidak menimbulkan sengketa pajak.

Karena sifatnya yang penuh kehati-hatian, tax planning biasanya disusun oleh konsultan pajak.

 

Baca Juga: Tax Planning, Solusi Jitu Perusahaan Menghemat Perpajakan

Contoh Kasus Tax Evasion

Contoh yang paling umum dan sering terjadi adalah overestimate of deduction atau pelaporan biaya objek pajak yang lebih besar dari seharusnya yang membuat pengenaan pajaknya menjadi lebih kecil.

Sebaliknya, banyak juga Wajib Pajak yang melakukan understatement of income atau mencatat pendapatan yang lebih kecil dengan motivasi yang sama: pengenaan pajak yang lebih kecil.

Contoh kasus adalah pembelian properti. Misal sebuah developer properti berhasil menjual rumah mewah seharga Rp10 miliar.

Namun dalam akta notaris hanya tertulis Rp900 juta dimana terdapat selisih Rp9,1 miliar.

Dalam transaksi tersebut terdapat potensi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang disetor sebesar 10% dari Rp9,1 miliar yaitu Rp910 juta dan PPh final sebesar 5% dari Rp9,1 miliar yaitu Rp455 juta.

Dalam transaksi tersebut negara memiliki potensi penerimaan sebesar Rp1,3 miliar.

Bayangkan jika dalam kurun satu tahun developer tersebut berhasil menjual ratusan unit, kerugian negara bisa mencapai puluhan miliar.

Kesimpulan

Tax evasion adalah satu hal yang sulit dihindari karena sifat naluriah manusia yang sejatinya enggan untuk membayar pajak.

Tax evasion pun juga menjadi tanggung jawab baik bagi Wajib Pajak maupun otoritas pajak.

Bagi Wajib Pajak, perlu disadari bahwa pemungutan pajak sejatinya dilakukan untuk kepentingan publik yang pada akhirnya dinikmati oleh Wajib Pajak itu sendiri.

Selain itu, otoritas pajak wajib untuk meningkatkan deteksi pelanggaran dan efisiensi sistem administrasi perpajakan.

Otoritas perpajakan juga dianggap perlu untuk tetap konsisten melakukan pengarahan atau publikasi kepatuhan pajak kepada seluruh Wajib Pajak.

Dalam hal ini pula, pemerintahan juga perlu meningkatkan rasa kepercayaan kepada masyarakat bahwa pemanfaatan pemungutan pajak sudah dilakukan tepat sasaran.

Admin dua