
Sering muncul pertanyaan apakah penulis juga dikenakan pajak? Jika Iya, berapa besaran pajak penulis?
Penulis adalah profesi yang menggunakan royalti sebagai penghasilannya. Nantinya penerimaan royalti inilah yang menjadi dasar pengenaan pajak.
Lantas apa landasan hukum pengenaan pajak bagi penulis? Bagaimana cara menghitungnya? Untuk menjawab semua pertanyaan tersebut, mari simak artikel berikut ini.
Pengenaan Pajak bagi Penulis
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, penulis merupakan sebuah profesi mandiri.
Sama seperti pekerja seni, profesi penulis biasanya dilakukan tanpa terikat oleh perusahaan dan pemasukan utamanya adalah royalti.
Royalti sendiri didapat dari hasil penjualan buku atau produk tulisan yang dijual oleh penulis.
Meski mekanisme penghasilannya tidak sama dengan pekerjaan in-house atau pekerjaan kantoran, penulis tetap dikenakan pajak.
Lantas apa yang mendasari penulis dikenakan pajak?
Mari kita lihat Pasal 4 Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Dimana dalam Pasal tersebut disebutkan yang menjadi objek pajak merupakan penghasilan berupa setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima oleh Wajib Pajak baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri.
Dalam Pasal 4 ayat 1 poin (h) juga disebutkan bahwa royalti termasuk ke dalam objek pajak. Hal ini juga cukup menegaskan bahwa penulis adalah profesi yang juga menjadi subjek pajak.
Besaran pajak bagi penulis dalam hal ini berarti adalah penerimaan royalti juga diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 23 dimana penghasilan royalti dikenakan sebesar 15%.
Mekanisme Pemungutan Pajak bagi Penulis
Apa yang membedakan pemungutan pajak bagi pekerja in-house dengan penulis?
Untuk menjawab hal itu mari kita membuka kembali Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-4/PJ/2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pencatatan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi.
Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa Wajib Pajak Pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan wajib melakukan pencatatan.
Di sisi lain, dalam peraturan tersebut pekerja bebas juga diperbolehkan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto atau NPPN.
NPPN ini lah yang sebenarnya mampu meringankan beban pajak bagi penulis.
Lalu, bagaimana mekanismenya?
Menurut Direktorat Jenderal Pajak, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan perhitungan penghasilan neto wajib pajak penulis yaitu:
- Apabila melakukan Wajib Pajak melakukan pembukuan, penghasilan neto ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:
- Biaya langsung maupun tidak langsung; dan
- Biaya sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 6 poin (b) hingga (m) termasuk di dalamnya pengeluaran yang digunakan untuk memperoleh hak cipta di bidang kesusastraan dengan masa manfaat lebih dari satu tahun.
Dengan catatan, biaya untuk memperoleh hak cipta tersebut nantinya diamortisasi menggunakan metode dalam bagian yang sama setiap tahun selama masa manfaat atau dalam bagian yang menurun setiap tahun dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas nilai sisa buku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (1) UU PPh.
- Bagi Wajib Pajak yang memiliki penghasilan bruto dari hasil menulis dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00, penghasilan neto dapat dihitung menggunakan NPPN dengan syarat:
- Wajib melakukan pencatatan sesuai Peraturan DJP No. PER-4/PJ/2009 yang telah disinggung sebelumnya;
- Wajib melaporkan penggunaan NPPN kepada DJP paling lama 3 bulan sejak awal Tahun Pajak yang bersangkutan;
- Besaran NPPN bagi penulis berdasarkan Peraturan DJP PER-17/PJ/2015 (Kegiatan Pekerja Seni KLU:90002) adalah sebesar 50% dari penghasilan bruto, baik honorarium maupun royalti yang diterima dari penerbit.
- Penghasilan bruto yang diterima oleh penulis meliputi penghasilan royalti yang diterima dari penerbit dan hak cipta di bidang kesusastraan yang dimiliki oleh penulis.
- Pajak yang diperkirakan terutang dalam suatu tahun pajak dilunasi oleh Wajib Pajak melalui pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak lain dan/atau pembayaran secara mandiri oleh Wajib Pajak.
Contoh Kasus
Ratidya Kida merupakan penulis asal Indonesia yang telah menjual banyak buku di Indonesia dan selalu menjadi best seller di setiap perilisannya.
Saat ini Ratidya Kida sudah berkeluarga dan memiliki dua orang anak.
Di awal tahun 2020, Ia meluncurkan buku terbarunya dimana per-eksemplarnya dijual dengan harga Rp 25.000 dan menerima royalti tiap tiga bulan sebesar 10% dari harga jual.
Berdasarkan laporan penjualannya pada tahun 2020, berikut penjualan bukunya Ratidya Kida.
Triwulan | Buku Terjual | Omzet | Royalti | PPh 23 |
I | Rp20.000 | Rp500.000.000 | Rp50.000.000 | Rp7.500.000 |
II | Rp25.000 | Rp625.000.000 | Rp62.500.000 | Rp9.375.000 |
III | Rp30.000 | Rp750.000.000 | Rp75.000.000 | Rp11.250.000 |
IV | Rp35.000 | Rp875.000.000 | Rp87.500.000 | Rp13.125.000 |
Total | Rp110.000 | Rp2.750.000.000 | Rp275.000.000 | Rp41.250.000 |
* Nilai dari PPh 23 merupakan 15% dari nilai royalti.
Sebelum ke dalam perhitungan, perlu dicatat bahwa terdapat dua rumus sesuai dengan bahasan pada sub-bab Mekanisme Pemungutan Pajak bagi Penulis dalam artikel ini.
Pertama, apabila penulis memiliki omzet lebih dari Rp4,8 miliar (4.800.000.000) atau memilih pembukuan, maka rumus yang digunakan adalah:
PPh Terutang = (Pendapatan Bruto – Biaya – PTKP) x Tarif Progresif Pasal 17
Kedua, apabila penulis memiliki omzet kurang dari Rp 4,8 miliar (4.800.000.000) dan memilih pencatatan dengan menggunakan NPPN, maka rumus yang digunakan adalah:
- PPh Terutang = ((Pendapatan Bruto x NPPN 50%) – PTKP) x Tarif Progresif Pasal 17
Sebagai catatan, nilai PTKP sesuai dengan Peraturan DJP yang dapat Anda lihat melalui artikel PTKP.
Baik, kembali lagi pada perhitungan omzet buku Ratidya Kida sebelumnya.
Berdasarkan laporan tersebut, total royalti yang diterima oleh Ratidya Kida tidak melebihi Rp4.800.000.000 per tahun dan memutuskan untuk mencatat sendiri. Maka rumus yang digunakan adalah rumus yang kedua.
Untuk detail perhitungannya adalah sebagai berikut:
Penghasilan Bruto | Rp275.000.000 |
Penghasilan Netto:
(Pendapatan Bruto x NPPN 50%) |
Rp275.000.000 x 50%
= Rp137.500.000 |
Penghasilan Kena Pajak (PKP):
(Rp137.500.000 – PTKP (karena Ratidya memiliki tiga tanggungan, maka kualifikasi PTKP yang digunakan sebesar Rp72.000.000)) |
Rp137.500.000 – Rp72.000.000 = Rp65.500.000 |
PPh Terutang:
PKP x Tarif Progresif (Pasal 17) |
Tarif progresif Pasal 17 dihitung dengan cara membagi tiap lapisan PKP.
5% x Rp50.000.000 = Rp2.500.000 15% x Rp15.500.000 = Rp2.325.000 = Rp4.825.000 |
Kredit PPh Pasal 23 | Rp41.250.000 |
Pajak yang Lebih Dibayar | Rp41.250.000 – Rp4.825.000
= Rp36.425.000 |
Dengan begitu, Ratidya Kida melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi menggunakan formulir SPT Tahunan 1770 dengan status lebih bayar Rp36.425.000.
Atas kelebihan pembayaran pajak tersebut, Ratidya Kida dapat mengajukan pengembalian pendahuluan lebih bayar pajak berdasarkan Pasal 17D Undang-Undang KUP dengan cara mencentang kolom restitusi pada formulir SPT Tahunan 1770.
Masalah yang Dihadapi Penulis Terkait Pajak yang Dibebankan
Selain masalah besaran pajak penulis yang dianggap terlalu besar dan membebani penulis, ada masalah lain yang sebenarnya dihadapi oleh para rekan penulis.
Masalah pertama adalah pengetahuan terkait perhitungan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto (NPPN) yang sebenarnya bisa meringankan pengenaan pajak bagi penulis.
Dimana dengan penghitungan tersebut penghasilan dari rekan penulis tidak langsung dihitung menggunakan pajak progresif sehingga cukup meringankan pengenaan pajak.
Masalah kedua adalah penafsiran ganda yang dari perhitungan NPPN itu sendiri antara pihak kantor pajak dan pemohon.
Kasus yang sering terjadi adalah laporan pajak menggunakan NPPN sering kali ditolak oleh kantor pajak yang bersangkutan.
Alasan yang sering terjadi adalah penggunaan NPPN untuk perhitungan pajak dilakukan untuk pendapatan non-royalti atau dengan kata lain yang bersifat aktif.
Padahal pendapatan aktif seorang penulis adalah berasal dari royalti. Nah, penafsiran ganda ini yang sering kali menjadi masalah bagi Wajib Pajak penulis.
Sehingga penafsiran ganda tersebut harus menjadi perhatian serius bagi Direktorat Jenderal Pajak.